Oleh
Sepri Yunarman*
Sepri Yunarman |
Apa
itu pemimpin dramaturgis? Kenapa pula ia harus diboikot? Moment untuk apa dan
bagaimana konsep pemimpin dramaturgis saat ini nampaknya adalah saat yang sangat tepat. Karena tahun
ini ada perhelatan pilkada serentak dalam rangka memilih calon-calon pemimpin. Kita
berharap bahwa pilkada serentak pada
tahun 2015 ini merupakan moment perubahan untuk bangsa dengan
cara memilih para pemimpin yang bersih, peduli, dan merakyat serta betul-betul
mempunyai kapasitas dan integritas untuk memimpin bangsa ini
Konsep dramaturgis ini merupakan konsep dalam sosiologi.
Konsep dramaturgis diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi yang bernama
Erfing Goffman yang lahir di Canada. Ia adalah seorang doctor lulusan
Universitas Chicago. Ia wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan
sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor di jurusan sosiologi Univ.
Calivornia Barkeley.
Pernyataan paling
terkenal Goffman tentang teori dramaturgis ada dalam buku Presentation of Self in Everyday
Life yang terbit
pada tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang
kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas.
Istilah dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan
fiksi di atas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia
yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh
tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam mazhab sosiologi,
Goffman termasuk tokoh dari aliran paradigma definisi sosial. Paradigma ini
menyatakan bahwa yang menjadi kajian sosiologi adalah individu, bukan
masyarakat. Jadi teori dramaturgis sendiri menganalis tingkah individu dalam
bertindak. Dalam teori dramaturgi-nya, Goffman menjelaskan bahwa kehidupan
setiap manusia di dunia ini seperti pertunjukan sebuah drama. Setiap individu
pasti mempunyai Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Pada front stage (di depan publik), setiap orang pasti
melakukan hal-hal yang menarik untuk dipuji, baik perkataannya maupun
perbuatannya. Sedangkan pada back stage-nya, bisa jadi individu tersebut
melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya di front
stage.
Pada level tertentu, penulis sepakat dengan apa
yang disampaikan oleh Goffman. Akan tetapi tentu tidak semua apa yang diasumsikan
dalam teori ini benar. Salah satu contoh misalnya seorang yang melakukan
sholat berjama’ah di masjid. Mengacu pada teori ini, orang yang beribadah
sholat di masjid hanya ingin dipuji dan ingin dianggap sebagai orang yang rajin
beribadah yang sebenarnya ia tidak seperti itu didalam kesehariannya. Atau
seseorang yang bersedekah di depan umum menurut teori ini sesungguhnya hanya
ingin dilihat sebagai seorang yang dermawan. Pendek kata, menurut teori ini
semua apa yang individu lakukan di front stage pasti berbeda dengan back
stagenya. Padahal tidak semua individu berbuat demikian. Banyak juga orang-orang yang
betul-betul jujur, konsisten dalam berbuat baik di front stage maupun back
stage-nya. Demikianlah gambaran tentang teori darmatugis.
Jika melihat kondisi kepemimpinan dalam
pemerintahan bangsa kita saat ini, baik tingkat pusat maupun daerah, saya
mengapresiasi atas sumbangan teori ini. Saat ini kita bisa melihat banyak pemimpin yang
menjadi pemimpin dramaturgis. Pemimpin yang perkataan dan perbuatannya
tidak sesuai. Berikut beberapa data yang menunjukkan
fenomena pemimpin dramaturgis :
- Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 24 kepala daerah terjerat kasus korupsi sepanjang 2012 (www.suaramerdeka.com)
- Selain kepala daerah, ICW juga mencatat ada 25 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi 2012 (www.suaramerdeka.com)
- Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini (www.rakyatmerdeka.com)
- Selain dari lembaga eksekutif, dan legislatif, juga menyeret para Aparatur birokrasi yang terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang,” (www.rakyatmerdeka.com)
Dari
segelintir data tersebut, dapat diketahui fenomena dramaturgis para pemimpin
kita. Jika ditinjau dari perkataan mereka pada saat kampanye dahulu (front
stage), maka tidak ada satupun dari mereka yang menyatakan akan melakukan kejahatan.
Semua yang mereka janjikan adalah mimpi-mimpi indah tentang kemajuan bangsa dan
masyarakat. Akan tetapi, setelah mereka terpilih, tanpa sepengetahuan
masyarakat (back stage) mereka mencuri dan merampas harta milik rakyat. Dan
naifnya, mereka lakukan itu berulang-ulang selama tidak diketahui oleh penegak
hukum. Mereka inilah yang disebut sebagai pemimpin dramaturgis, yakni mereka
yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan. Mereka bermain sandiwara
di front stage dan back stage.
[Bersambung ke Bagian 2 ]
----------------
*) Penulis adalah lulusan Ilmu Sosiologi Universitas Negeri Padang
0 komentar:
Posting Komentar