Allah swt. berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Bangunan yang tersusun kokoh tentu tidak hanya terdiri dari satu komponen, tetapi terdiri dari beberapa kompenen yang saling kait mengkait dan serasi antara satu dengan lainnya.
Seseorang atau perusahaan yang akan membangun gedung, akan memulainya dengan mimpi, doa, membuat rencana, mencari bahan, kemudian mengumpulkan bahan yang dibutuhkan.
Bahan yang sudah terkumpul diseleksi sesuai kebutuhan bagian-bagian dari konstruksi bangunan. Pasir disaring, batu dibentuk dengan ukuran-ukuran tertentu, kayu yang kurang lurus, diluruskan terlebih dahulu, dan begitu seterusnya, agar bangunan kokoh dan rapih.
Bahan-bahan yang tidak terpakai untuk konstruksi inti, akan dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti meratakan halaman, hiasan di luar, dan lain sebainya, sehingga tidak ada satu bahan bangunan pun yang terbuang percuma.
Sebuah Jamaah yang berjuang untuk mengembalikan manusia pada penghambaan kepada Allah swt. semata, mengembalikan kejayaan umat, menegakkan keadilan, mensejahterakan masyarakat, dan membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), tentu tidak mungkin dibangun hanya dengan satu profesi, potensi, dan kemampuan. Sebab Islam yang diperjuangkan adalah “Sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”[1])
Jamaah membutuhkan ahli politik yang menangani masalah politik dan pemerintahan, dokter dan para medis yang menangani kesehatan, pakar ekonomi, ahli pendidikan, teknokrat, kiyai, dan keahlian lainnya. Namun untuk menghimpun mereka dalam sebuah jamaah, menyatukan mereka semua dalam satu visi dan misi, serta mengikat mereka dalam kerja sama yang rapih, tentu lebih serius dibanding membangun gedung.
Sebuah Jamaah yang solid dan produktif dibangun melalui proses yang panjang; dari mulai menjalin komunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat, memilih anggota masyarakat yang siap menerima perubahan dan mengusung perubahan, mentarbiyah yang terpilih, dan begitu seterusnya hingga tergabung dalam jamaah yang solid dan produktif.
Apabila untuk membangun gedung yang kokoh dan indah dibutuhkan waktu yang relatif lama, padahal bahan-bahannya adalah benda yang tidak bergerak dan tidak mempunyai kehendak, maka apalagi membangun Jamaah yang solid dan produktif yang anggotanya adalah manusia. Di mana manusia mempunyai pikiran, keingingan, latar belakang, dan segudang karakteristik yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Proses pembentukan Jamaah yang solid dan produktif itu, bisa disebut dengan istilah tarbiyah atau pembinaan.
Dan, karena Jamaah yang berjuang untuk tegaknya agama Allah swt. itu, tidak dibatasi oleh waktu, maka pembinaan pun tidak berhenti. Sebab jika pembinaan berhenti, maka pertanda Jamaah itu pun akan berhenti.
Mushtafa Masyhur berkata, “Berbagai peristiwa dan perjalanan waktu menjadi saksi bahwa perhatian terhadap proses pembinaan menjadi penentu bagi kadar kemurnian, kesinambungan, dan perkembangan sebuah jamaah (pergerakan). Ia juga menjadi ukuran bagi sejauh mana keterpaduan di antara anggota-anggotanya, persatuan barisannya, kerjasamanya, kinerjanya, serta produktivitas dan efektivitas potensi yang dicurahkan, harta yang diinfakkan, dan waktu yang dihabiskan. Sebaliknya, bila aspek pembinaan ditelantarkan atau kurang mendapat perhatian, maka akan nampak kelemahan dan keguncangan dalam barisan, muncul benih-benih permusuhan dan perpecahan, kinerja semakin melemah dan produktivitas semakin menurun.”
Proses pembinaan sesuangguhnya hanya terdiri dari dua unsur utama, yaitu rekrutmen anggota pembinaan baru dari masyarakat, dan pemeliharaan serta peningkatan anggota yang telah terbina. Di mana dua unsur tersebut saling berkaitan dan satu mempengaruhi yang lainnya.
Rekrutmen berfungsi untuk menambah jumlah anggota yang akan menjadi bahan utama bangunan, sehingga bangunan semakin besar dan tinggi menjulang. Karena itu, apabila kegiatan rekrutmen mengalami kemandegan, maka pertumbuhan jamaah pun akan terhenti.
Kemenangan dakwah di setiap masa selalu ditandai dengan pertumbuhan kader berkualitas dalam jumlah yang mencukupi.
Pada musim Haji tahun ke-11 kenabian, 6 pemuda Yatsrib masuk Islam dan bertekad menyebarkan risalah Islam di Madinah. Mereka melakukan rekrutmen secara masif di derah asalnya. Hasilnya, pada tahun berikutnya, yaitu tahun ke-12 kenabian terjadi bai’atul Aqabah pertama yang diikuti oleh 12 orang Yatsrib yang telah masuk Islam, dan satu orang dari 6 orang yang pertama tidak ikut karena sakit. Berarti jumlah anggota jamaah di Yatsrib saat itu 13 orang dari asalnya 6 orang. Kalau dihitung dengan prosentase, pertumbuhan kader lebih dari 100%
Setelah itu Rasulullah saw. mengutus Mush’ab bin Umair ra. untuk membantu rekrutmen dan pembinaan kader di Yatsrib. Dan, dengan bantuan Mush’ab, kader-kader Yatsrib berhasil merekrut tokoh-tokoh Yatsrib, hingga tahun berikutnya, yaitu tahun ke-13 kenabian, terjadi Bai’atul Aqabah kedua yang diikuti oleh 73 orang dari penduduk Yatsrib. Dan, kader yang siap berangkat ke Makkah dengan resiko kematian, jika ketahuan kaum kafir Quraisy, tentu bukan kader pemula. Berarti pertumbuhan kader yang siap memikul amanah perjuangan saat itu lebih dari 600%.
Pertumbuhan tersebut terus berlangsung tanpa henti dan ditambah dengan proses hijrah nabawiyah, maka proses pertumbuhan semakin pesat dan tidak pernah mengalami stagnan, apalagi penurunan.
Tujuh tahun kemudian, yaitu ke-6 Hijriah, Rasulullah saw. memobilisasi para shahabat untuk Umrah, yang dikenal dengan Umrah Hudaibiyah. Yang berangkat bersama beliau saw. pada waktu itu sekitar 1500 kader. Meski akhirnya tidak jadi melaksanakan Umrah karena terjadi perjanjian Hudaibiyah.
Ketika suasana aman, tidak ada tekanan dan tidak ada pertempuran, maka rekrutmen kader semakin masif, hingga dua tahun berikutnya, yaitu tahun 8 Hijriah, Rasulullah saw. berangkat bersama sekitar 10.000 pasukan untuk membebaskan kota Makkah.
Pada saat kemenangan besar diraih oleh kaum muslimin, maka rekrutmen tidak lagi dilakukan secara personal, tetapi secara berkelompok, bahkan masyarakat secara berbondong-bondong bergabung dalam barisan dakwah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (An-Nashr: 1-3)
Pertumbuhan itu terus berlangsung, hingga pada musim Haji Wada’, 10 Hijriah, peserta yang hadir saat itu sekitar 100.000 shahabat.
Di antara faktor suksesnya pertumbuhan itu adalah semangat masing-masing kader untuk melakukan rekruitmen dan pembinaan. Dan, semangat untuk merekrut dan membina pun selalu dihembuskan oleh Rasulullah saw. melalui janji-janji menarik, antara lain,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sesungguhnya jika Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan (perantaraan) kamu, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu mempunyai unta merah (kendaraan termewah saat itu, pent.)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan pada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pahala yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Memang tidak semua kader memiliki kemampuan rekrutmen dan pembinaan yang memadai. Oleh karena itu, apabila seorang kader memiliki berbagai keterbatasan (udzur syar’i), hingga tidak bisa merekrut atau membina, maka memfasilitasi kader lain agar dapat melakukan rekrutmen atau pembinaan, dengan cara memberikan kontribusi dana pada kader yang mempunyai kemampuan merekrut atau membina, tetapi tidak dapat optimal karena sarana, maka pahalanya sama dengan yang melakukan rekrutmen atau pembinaan secara langsung.
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا
“Siapa yang membekali pejuang di jalan Allah, maka ia mendapat pahala seperti pahala pejuang tersebut, tanpa mengurangi pahala pejuang itu sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah)
Tentunya masih banyak dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabawiyah, dan lain-lainnya tentang pentingnya rekruitmen dan pertumbuhan kader. Wallahu a’lam bishawab.
sumber :al intima'
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Bangunan yang tersusun kokoh tentu tidak hanya terdiri dari satu komponen, tetapi terdiri dari beberapa kompenen yang saling kait mengkait dan serasi antara satu dengan lainnya.
Seseorang atau perusahaan yang akan membangun gedung, akan memulainya dengan mimpi, doa, membuat rencana, mencari bahan, kemudian mengumpulkan bahan yang dibutuhkan.
Bahan yang sudah terkumpul diseleksi sesuai kebutuhan bagian-bagian dari konstruksi bangunan. Pasir disaring, batu dibentuk dengan ukuran-ukuran tertentu, kayu yang kurang lurus, diluruskan terlebih dahulu, dan begitu seterusnya, agar bangunan kokoh dan rapih.
Bahan-bahan yang tidak terpakai untuk konstruksi inti, akan dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti meratakan halaman, hiasan di luar, dan lain sebainya, sehingga tidak ada satu bahan bangunan pun yang terbuang percuma.
Sebuah Jamaah yang berjuang untuk mengembalikan manusia pada penghambaan kepada Allah swt. semata, mengembalikan kejayaan umat, menegakkan keadilan, mensejahterakan masyarakat, dan membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), tentu tidak mungkin dibangun hanya dengan satu profesi, potensi, dan kemampuan. Sebab Islam yang diperjuangkan adalah “Sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”[1])
Jamaah membutuhkan ahli politik yang menangani masalah politik dan pemerintahan, dokter dan para medis yang menangani kesehatan, pakar ekonomi, ahli pendidikan, teknokrat, kiyai, dan keahlian lainnya. Namun untuk menghimpun mereka dalam sebuah jamaah, menyatukan mereka semua dalam satu visi dan misi, serta mengikat mereka dalam kerja sama yang rapih, tentu lebih serius dibanding membangun gedung.
Sebuah Jamaah yang solid dan produktif dibangun melalui proses yang panjang; dari mulai menjalin komunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat, memilih anggota masyarakat yang siap menerima perubahan dan mengusung perubahan, mentarbiyah yang terpilih, dan begitu seterusnya hingga tergabung dalam jamaah yang solid dan produktif.
Apabila untuk membangun gedung yang kokoh dan indah dibutuhkan waktu yang relatif lama, padahal bahan-bahannya adalah benda yang tidak bergerak dan tidak mempunyai kehendak, maka apalagi membangun Jamaah yang solid dan produktif yang anggotanya adalah manusia. Di mana manusia mempunyai pikiran, keingingan, latar belakang, dan segudang karakteristik yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Proses pembentukan Jamaah yang solid dan produktif itu, bisa disebut dengan istilah tarbiyah atau pembinaan.
Dan, karena Jamaah yang berjuang untuk tegaknya agama Allah swt. itu, tidak dibatasi oleh waktu, maka pembinaan pun tidak berhenti. Sebab jika pembinaan berhenti, maka pertanda Jamaah itu pun akan berhenti.
Mushtafa Masyhur berkata, “Berbagai peristiwa dan perjalanan waktu menjadi saksi bahwa perhatian terhadap proses pembinaan menjadi penentu bagi kadar kemurnian, kesinambungan, dan perkembangan sebuah jamaah (pergerakan). Ia juga menjadi ukuran bagi sejauh mana keterpaduan di antara anggota-anggotanya, persatuan barisannya, kerjasamanya, kinerjanya, serta produktivitas dan efektivitas potensi yang dicurahkan, harta yang diinfakkan, dan waktu yang dihabiskan. Sebaliknya, bila aspek pembinaan ditelantarkan atau kurang mendapat perhatian, maka akan nampak kelemahan dan keguncangan dalam barisan, muncul benih-benih permusuhan dan perpecahan, kinerja semakin melemah dan produktivitas semakin menurun.”
Proses pembinaan sesuangguhnya hanya terdiri dari dua unsur utama, yaitu rekrutmen anggota pembinaan baru dari masyarakat, dan pemeliharaan serta peningkatan anggota yang telah terbina. Di mana dua unsur tersebut saling berkaitan dan satu mempengaruhi yang lainnya.
Rekrutmen berfungsi untuk menambah jumlah anggota yang akan menjadi bahan utama bangunan, sehingga bangunan semakin besar dan tinggi menjulang. Karena itu, apabila kegiatan rekrutmen mengalami kemandegan, maka pertumbuhan jamaah pun akan terhenti.
Kemenangan dakwah di setiap masa selalu ditandai dengan pertumbuhan kader berkualitas dalam jumlah yang mencukupi.
Pada musim Haji tahun ke-11 kenabian, 6 pemuda Yatsrib masuk Islam dan bertekad menyebarkan risalah Islam di Madinah. Mereka melakukan rekrutmen secara masif di derah asalnya. Hasilnya, pada tahun berikutnya, yaitu tahun ke-12 kenabian terjadi bai’atul Aqabah pertama yang diikuti oleh 12 orang Yatsrib yang telah masuk Islam, dan satu orang dari 6 orang yang pertama tidak ikut karena sakit. Berarti jumlah anggota jamaah di Yatsrib saat itu 13 orang dari asalnya 6 orang. Kalau dihitung dengan prosentase, pertumbuhan kader lebih dari 100%
Setelah itu Rasulullah saw. mengutus Mush’ab bin Umair ra. untuk membantu rekrutmen dan pembinaan kader di Yatsrib. Dan, dengan bantuan Mush’ab, kader-kader Yatsrib berhasil merekrut tokoh-tokoh Yatsrib, hingga tahun berikutnya, yaitu tahun ke-13 kenabian, terjadi Bai’atul Aqabah kedua yang diikuti oleh 73 orang dari penduduk Yatsrib. Dan, kader yang siap berangkat ke Makkah dengan resiko kematian, jika ketahuan kaum kafir Quraisy, tentu bukan kader pemula. Berarti pertumbuhan kader yang siap memikul amanah perjuangan saat itu lebih dari 600%.
Pertumbuhan tersebut terus berlangsung tanpa henti dan ditambah dengan proses hijrah nabawiyah, maka proses pertumbuhan semakin pesat dan tidak pernah mengalami stagnan, apalagi penurunan.
Tujuh tahun kemudian, yaitu ke-6 Hijriah, Rasulullah saw. memobilisasi para shahabat untuk Umrah, yang dikenal dengan Umrah Hudaibiyah. Yang berangkat bersama beliau saw. pada waktu itu sekitar 1500 kader. Meski akhirnya tidak jadi melaksanakan Umrah karena terjadi perjanjian Hudaibiyah.
Ketika suasana aman, tidak ada tekanan dan tidak ada pertempuran, maka rekrutmen kader semakin masif, hingga dua tahun berikutnya, yaitu tahun 8 Hijriah, Rasulullah saw. berangkat bersama sekitar 10.000 pasukan untuk membebaskan kota Makkah.
Pada saat kemenangan besar diraih oleh kaum muslimin, maka rekrutmen tidak lagi dilakukan secara personal, tetapi secara berkelompok, bahkan masyarakat secara berbondong-bondong bergabung dalam barisan dakwah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (An-Nashr: 1-3)
Pertumbuhan itu terus berlangsung, hingga pada musim Haji Wada’, 10 Hijriah, peserta yang hadir saat itu sekitar 100.000 shahabat.
Di antara faktor suksesnya pertumbuhan itu adalah semangat masing-masing kader untuk melakukan rekruitmen dan pembinaan. Dan, semangat untuk merekrut dan membina pun selalu dihembuskan oleh Rasulullah saw. melalui janji-janji menarik, antara lain,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sesungguhnya jika Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan (perantaraan) kamu, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu mempunyai unta merah (kendaraan termewah saat itu, pent.)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan pada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pahala yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Memang tidak semua kader memiliki kemampuan rekrutmen dan pembinaan yang memadai. Oleh karena itu, apabila seorang kader memiliki berbagai keterbatasan (udzur syar’i), hingga tidak bisa merekrut atau membina, maka memfasilitasi kader lain agar dapat melakukan rekrutmen atau pembinaan, dengan cara memberikan kontribusi dana pada kader yang mempunyai kemampuan merekrut atau membina, tetapi tidak dapat optimal karena sarana, maka pahalanya sama dengan yang melakukan rekrutmen atau pembinaan secara langsung.
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا
“Siapa yang membekali pejuang di jalan Allah, maka ia mendapat pahala seperti pahala pejuang tersebut, tanpa mengurangi pahala pejuang itu sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah)
Tentunya masih banyak dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabawiyah, dan lain-lainnya tentang pentingnya rekruitmen dan pertumbuhan kader. Wallahu a’lam bishawab.
sumber :al intima'
0 komentar:
Posting Komentar