oleh
*Tim Humas DPW PKS Bengkulu
1. Pendahuluan
MEDIA massa dewasa ini tidak lagi hanya berperan sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, tapi juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi (Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Pers No. 40/1999 dan Pasal 4 ayat 1 dan 2 UU Penyiaran No. 32/2002). Sehingga perusahaan media bisa menjadi industri kapitalis yang menghalalkan segalanya, demi mendapat untung sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya dengan modal yang minimal.
Sumber pendapatan media massa bukan dari hasil penjualan koran atau majalah. Bukan dari pemirsa televisi. Bukan dari para pendengar radio dan bukan pula dari orang yang meng-klik e-Paper. Pendapatannya hanya datang dari seberapa banyak iklan yang masuk di media bersangkutan. Untuk menarik iklan, harus diyakini pemasang iklan, bahwa media tersebut dikonsumsi masyarakat secara luas.Semakin luas pengaruh sebuah media, semakin diincar pengiklan dan semakin mahal tarif yang dapat ditawarkan.
Selain berorientasi untung, media massa juga memiliki tujuan jangka panjang tersendiri dalam membentuk persepsi. Media dapat menentukan visi dalam melakukan penyebarluasan ideologi tertentu. Media pun punya kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat dan publik dalam menentukan sudut pandang sebuah kebenaran.
2. Kebenaran Semu
Bagaimana agar sebuah media digemari masyarakat dan publik?. Rumus besarnya adalah menjual informasi atau berita yang tidak lazim. Istilah di kalangan jurnalis ini: ‘Anjing menggigit orang, bukan berita. Orang menggigit anjing, itu baru berita’. Namun, pada perjalannya, tidak setiap saat media berhasil menemukan kejadian ‘Orang menggigit anjing’. Sehingga, pekerja media berusaha mengesankan setiap informasi yang dijual seolah-olah paling heboh, paling penting, paling unik, dan paling mencengangkan walau harus melanggar koridor jurnalisme hingga ‘membantai’ pihak tertentu.
Sebuah peristiwa, misalnya ‘Orang memukul anjing’ menjadi seakan kebenarannya peristiwa ‘Orang menggigit anjing’ dengan mudah dilakukan semua media massa. Yakni, dengan memilih angle atau sudut pandang peristiwa tersebut. Cukup dengan memilah posisi melihat peristiwanya, memilih narasumber A1 (orang yang melihat peristiwa), memilih narasumber lain yang dapat berkomentar tentang interaksi ‘orang dan anjing’. Setelah semuanya diracik, kemudian potongan-potongan sudut pandang itu tadi disajikan hingga sedap dibaca dan didengar, yang membuat orang yang mencicipinya yakin hal berita tersebut sebuah kebenaran, padahal semu.
Contoh sederhananya ini: Poligami KH Abdullah Gimnastiar ‘diuyek-uyek’ oleh pemberitaan dan infotainment sedemikian rupa, hingga persepsi (anggapan) masyarakat dan publik, Aa Gym tidak layak lagi dijadikan pencerah umat. Karena dipersepsikan telah menghianati cinta Teh Nini, istri pertamanya dan dikesankan kiyai itu gila ‘daun muda’, hingga tak layak diberi pintu maaf. Berbeda dengan penggarapan berita dan infotainment terhadap Eyang Subur. Walau beristrikan 8 orang perempuan lintas generasi, yang jelas-jelas melindas syari’ah, tapi persepsi yang dibangun media menjadikan peristiwa tersebut menjadi wajar dimaklumi.
Media membentuk persepsi tentang Eyang Subur tadi hanya dengan pemilihan sudut pandang terhadap peristiwa dan hal yang terkait dengannya. Sudut pandang yang paling dimunculkan, seperti salah satu istrinya menyatakan diri merasa nyaman hidup dengan ‘madu delapan’. Lantas, penyeimbangnya pernyataan pengurus MUI yang menyarankan Subur menceraikan separuh istrinya. Sehingga sajian informasi tentang Subur, baik pakai infotainment maupun pakai pemberitaan, seakan memenuhi segala persyaratan jurnalistik. Namun sudut pandang yang ditonjolkan adalah persepsi yang memaklumi semua gelagat Subur.
Perlu dipahami, penentuan arah pembentukan persepsi tentang Gimnastiar dan Subur itu dilakukan media karena untuk menyelaraskan pesanan pengiklan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh visi besar media itu sendiri.
3. Pengiklan Adalah Raja
Sama seperti perniagaan lain. Media massa menjual ruang iklan, sehingga memposisikan pengiklan sebagai raja. Karena memang pembeli adalah raja, maka perusahaan media akan memenuhi permintaan kliennya sebagai imbalan terhadap konsumen. Ketika pengiklan memesan agar media tersebut membangun persepsi positif tentang sesuatu, akan dituruti, demikian sebaliknya.
Selain mengintervensi dengan pesanan, pengiklan juga dapat menentukan diri memilih program atau pemberitaan tertentu untukberiklan. Semakin tinggi rating sebuah program atau pemberitaan, maka akan semakin tinggi permintaan ruang iklan di media masa itu. Contoh kecil, tarif murah tayang iklan durasi 30 detik di televisi nasional Rp 60-an juta. Advertorial (berita promosi) televisi kecil dan lokal durasi 1 menit Rp 2 juta-an.
Rahasia media soal pengiklan, ini: “Kalau orang memasang iklan di media kami, dia adalah teman kami. Selagi kami bisa menutupi sesuatu yang menurut dia perlu ditutupi, tidak akan kami buka. Agar kerjasama terus berlanjut”. Sebaliknya, jika tidak mau beriklan, berarti musuh yang perlu diwaspadai dan bila perlu ‘digebuki’.
*Tim Humas DPW PKS Bengkulu
1. Pendahuluan
MEDIA massa dewasa ini tidak lagi hanya berperan sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, tapi juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi (Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Pers No. 40/1999 dan Pasal 4 ayat 1 dan 2 UU Penyiaran No. 32/2002). Sehingga perusahaan media bisa menjadi industri kapitalis yang menghalalkan segalanya, demi mendapat untung sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya dengan modal yang minimal.
Sumber pendapatan media massa bukan dari hasil penjualan koran atau majalah. Bukan dari pemirsa televisi. Bukan dari para pendengar radio dan bukan pula dari orang yang meng-klik e-Paper. Pendapatannya hanya datang dari seberapa banyak iklan yang masuk di media bersangkutan. Untuk menarik iklan, harus diyakini pemasang iklan, bahwa media tersebut dikonsumsi masyarakat secara luas.Semakin luas pengaruh sebuah media, semakin diincar pengiklan dan semakin mahal tarif yang dapat ditawarkan.
Selain berorientasi untung, media massa juga memiliki tujuan jangka panjang tersendiri dalam membentuk persepsi. Media dapat menentukan visi dalam melakukan penyebarluasan ideologi tertentu. Media pun punya kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat dan publik dalam menentukan sudut pandang sebuah kebenaran.
2. Kebenaran Semu
Bagaimana agar sebuah media digemari masyarakat dan publik?. Rumus besarnya adalah menjual informasi atau berita yang tidak lazim. Istilah di kalangan jurnalis ini: ‘Anjing menggigit orang, bukan berita. Orang menggigit anjing, itu baru berita’. Namun, pada perjalannya, tidak setiap saat media berhasil menemukan kejadian ‘Orang menggigit anjing’. Sehingga, pekerja media berusaha mengesankan setiap informasi yang dijual seolah-olah paling heboh, paling penting, paling unik, dan paling mencengangkan walau harus melanggar koridor jurnalisme hingga ‘membantai’ pihak tertentu.
Sebuah peristiwa, misalnya ‘Orang memukul anjing’ menjadi seakan kebenarannya peristiwa ‘Orang menggigit anjing’ dengan mudah dilakukan semua media massa. Yakni, dengan memilih angle atau sudut pandang peristiwa tersebut. Cukup dengan memilah posisi melihat peristiwanya, memilih narasumber A1 (orang yang melihat peristiwa), memilih narasumber lain yang dapat berkomentar tentang interaksi ‘orang dan anjing’. Setelah semuanya diracik, kemudian potongan-potongan sudut pandang itu tadi disajikan hingga sedap dibaca dan didengar, yang membuat orang yang mencicipinya yakin hal berita tersebut sebuah kebenaran, padahal semu.
Contoh sederhananya ini: Poligami KH Abdullah Gimnastiar ‘diuyek-uyek’ oleh pemberitaan dan infotainment sedemikian rupa, hingga persepsi (anggapan) masyarakat dan publik, Aa Gym tidak layak lagi dijadikan pencerah umat. Karena dipersepsikan telah menghianati cinta Teh Nini, istri pertamanya dan dikesankan kiyai itu gila ‘daun muda’, hingga tak layak diberi pintu maaf. Berbeda dengan penggarapan berita dan infotainment terhadap Eyang Subur. Walau beristrikan 8 orang perempuan lintas generasi, yang jelas-jelas melindas syari’ah, tapi persepsi yang dibangun media menjadikan peristiwa tersebut menjadi wajar dimaklumi.
Media membentuk persepsi tentang Eyang Subur tadi hanya dengan pemilihan sudut pandang terhadap peristiwa dan hal yang terkait dengannya. Sudut pandang yang paling dimunculkan, seperti salah satu istrinya menyatakan diri merasa nyaman hidup dengan ‘madu delapan’. Lantas, penyeimbangnya pernyataan pengurus MUI yang menyarankan Subur menceraikan separuh istrinya. Sehingga sajian informasi tentang Subur, baik pakai infotainment maupun pakai pemberitaan, seakan memenuhi segala persyaratan jurnalistik. Namun sudut pandang yang ditonjolkan adalah persepsi yang memaklumi semua gelagat Subur.
Perlu dipahami, penentuan arah pembentukan persepsi tentang Gimnastiar dan Subur itu dilakukan media karena untuk menyelaraskan pesanan pengiklan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh visi besar media itu sendiri.
3. Pengiklan Adalah Raja
Sama seperti perniagaan lain. Media massa menjual ruang iklan, sehingga memposisikan pengiklan sebagai raja. Karena memang pembeli adalah raja, maka perusahaan media akan memenuhi permintaan kliennya sebagai imbalan terhadap konsumen. Ketika pengiklan memesan agar media tersebut membangun persepsi positif tentang sesuatu, akan dituruti, demikian sebaliknya.
Selain mengintervensi dengan pesanan, pengiklan juga dapat menentukan diri memilih program atau pemberitaan tertentu untukberiklan. Semakin tinggi rating sebuah program atau pemberitaan, maka akan semakin tinggi permintaan ruang iklan di media masa itu. Contoh kecil, tarif murah tayang iklan durasi 30 detik di televisi nasional Rp 60-an juta. Advertorial (berita promosi) televisi kecil dan lokal durasi 1 menit Rp 2 juta-an.
Rahasia media soal pengiklan, ini: “Kalau orang memasang iklan di media kami, dia adalah teman kami. Selagi kami bisa menutupi sesuatu yang menurut dia perlu ditutupi, tidak akan kami buka. Agar kerjasama terus berlanjut”. Sebaliknya, jika tidak mau beriklan, berarti musuh yang perlu diwaspadai dan bila perlu ‘digebuki’.
0 komentar:
Posting Komentar