Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”
Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”
Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,
“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”
“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”
Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.
Ironisnya,
sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang
berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’
sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’
untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh
tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para
penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris
dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya
sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral,
perdamaian, dsb).
Dengan kata lain,
seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya
untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita
ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr,
W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai
mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya
‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya
kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu
menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi
menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat
orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku
adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya;
demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah
membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr
menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the
divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim
Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sekilas
memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis
[sengaja?] tidak mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta
bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah
yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman
al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and
Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau
maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk
kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dan
memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn
Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta
dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta,
kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual
(hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta
material (hubb ‘unsuri).
Setelah
menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan
bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan
sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi,
‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at
dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi
Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain
bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari
pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their
own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang
sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni
reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps
Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply”
dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity”
dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on
his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington,
D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).
Lebih
parah lagi—dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek
menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi
mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat
(bab) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama
lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara
utuh.
“All the revealed religions
(shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of
Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars.
When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their
lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like
the abrogation of the other revealed religions that takes place through
Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just
as the existence of the light of the stars is actualized. This explains
why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in
the truth of all the messengers and all the revealed religions. They
are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the
ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of
Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994,
hlm.125).
Dengan [sengaja?] berhenti di
situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat
mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan
sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan
Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul
pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah
masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan
bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas
tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan
sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya
tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat
Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan
syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay
bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn
Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Lebih
jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring
pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang
penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya.
Sambungan
pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan
tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya
bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya
para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau
sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq
kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama,
fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum
syar‘ahu).
Bagaimana dengan ayat yang
mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk
masing-masing kalian (al-Ma’idah:48)
“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.
Menurut
Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam
konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab
jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus
lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu
difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah
menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu
Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan
status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas
antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau
tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah
mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid
‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan niscaya tidak keluar perintah
membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).
Oleh
sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk
Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang
mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
(Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb
kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa
kafir”). (al,ikhwan.net)
0 komentar:
Posting Komentar