Oleh
Muhbib Abdul Wahab
Pada suatu malam yang gelap gulita, Umar bin al-Khaththab mengadakan ronda sendirian tanpa didampingi seorang pengawal pun dengan menyusuri jalan-jalan kota Madinah.
Di suatu sudut kota dijumpai ada sebuah rumah yang lampunya terlihat menyala terang. Umar mendekati pintu rumah itu dan mendengarkan suara gaduh di dalamnya.
Dia lalu mengintip dari celah-celah bilik rumah itu untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Dilihatnya ada tuan rumah itu bersama kawan-kawan yang sedang duduk di meja dan di depan masing-masing ada minuman. Dia menduga kuat, mereka sedang berpesta minuman keras.
Umar berusaha masuk rumah itu melalui atap, namun ketahuan. Salah seorang dari mereka kemudian membuka pintu dan mempersilahkan Umar masuk.
Umar masuk sambil membawa pedang terhunus. Mengetahui hal itu, mereka ketakutan. Namun, tuan rumah kemudian berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh aku telah berbuat salah; dan sekarang aku bertobat kepada Allah di hadapanmu, terimalah permohonan maafku"! Umar menjawab: "Saya datang kemari justeru untuk memukulmu (menghukummu)."
"Wahai Amirul Mukminin, bagaimana mungkin engkau akan menghukumku?Aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau sendiri melakukan tiga kesalahan sekaligus?"
Pemilik rumah itu lalu menunjukkan tiga kesalahan Umar.
"Wahai Umar, Allah SWT telah berfirman: "Janganlah kamu mencari-cari (memata-matai) kesalahan orang lain..." (QS al-Hujurat /49: 12). Engkau salah karena telah melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan) saya dengan mengendus-endus rumah saya!
"Wahai Umar, Allah berfirman: "Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ..." (QS al-Baqarah/2: 189). Engkau salah karena tidak masuk melalui pintu, tetapi melalui atap.
"Wahai Umar, Allah juga berfirman: "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... (QS an-Nur/24: 27). Engkau salah karena masuk rumahku tanpa izin dan tanpa salam."
Karena itu, lanjut tuan rumah, “Amirul Mukminin tidak sepantasnya menghukumku karena aku melakukan satu kesalahan, sementara pada saat yang sama aku sendiri sudah bertobat kepada Allah di hadapanmu. Sedangkan engkau sendiri telah melakukan tiga kesalahan tersebut."
Umar pun dengan tulus dan terbuka mengakui kesalahannya. Kepada tuan rumah itu Umar akhirnya menyatakan: "Anda benar, apa yang Anda sampaikan kepadaku tidak salah. Karena itu, aku mohon kepadamu agar engkau juga bertobat kepada Allah SWT dan sekaligus memohonkan ampunan dari Allah untukku."
Seperti itulah antara lain profil figur pemimpin teladan yang jujur, adil, terbuka dan bijaksana. Umar tidak main hakim sendiri ketika warganya melakukan kesalahan.
Umar justeru jujur dan terbuka mengakui tiga kesalahannya di hadapan rakyatnya sendiri, dan dalam waktu yang sama mau bertobat atas tiga kesalahannya karena telah mengganggu kenyamanan warganya.
Jika para pemimpin sudah mampu bersikap jujur, terbuka, adil, dan bijaksana dalam menegakkan hukum, niscaya kewibawaan penegakan hukum di negeri ini dapat diwujudkan.
Kita merindukan pemimpin teladan yang merakyat, mau menyapa, mendengar, dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya.
Pemimpin dipilih bukan untuk menikmati kekuasaan dan aji mumpung dengan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, melainkan untuk melayani, bukan minta dilayani, karena pemimpin itu mengemban amanah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan hukum, memberikan perlindungan dan keamanan, sekaligus menyejahterakan, mendamaikan, dan menentramkan kehidupan rakyatnya.
Rakyat tidak merasa nyaman jika pemimpinya lebih sibuk mementingkan urusan pribadi dan pencitraan dirinya daripada mengurusi dan melayani rakyat.
Pemimpin teladan rela berjuang dan berkorban demi kemaslahatan semua, bukan kepentingan politik keluarga dan partainya.
Pemimpin teladan seperti Umar itu sejatinya selalu hadir memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat, bukan mudah terprovokasi karena urusan pribadinya terusik atau khawatir terkuak keburukannya.
Pemimpin teladan tidak pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, karena setiap pemimpin itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab!
Sumber : republika.co.id
Muhbib Abdul Wahab
Pada suatu malam yang gelap gulita, Umar bin al-Khaththab mengadakan ronda sendirian tanpa didampingi seorang pengawal pun dengan menyusuri jalan-jalan kota Madinah.
Di suatu sudut kota dijumpai ada sebuah rumah yang lampunya terlihat menyala terang. Umar mendekati pintu rumah itu dan mendengarkan suara gaduh di dalamnya.
Dia lalu mengintip dari celah-celah bilik rumah itu untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Dilihatnya ada tuan rumah itu bersama kawan-kawan yang sedang duduk di meja dan di depan masing-masing ada minuman. Dia menduga kuat, mereka sedang berpesta minuman keras.
Umar berusaha masuk rumah itu melalui atap, namun ketahuan. Salah seorang dari mereka kemudian membuka pintu dan mempersilahkan Umar masuk.
Umar masuk sambil membawa pedang terhunus. Mengetahui hal itu, mereka ketakutan. Namun, tuan rumah kemudian berkata kepada Umar: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh aku telah berbuat salah; dan sekarang aku bertobat kepada Allah di hadapanmu, terimalah permohonan maafku"! Umar menjawab: "Saya datang kemari justeru untuk memukulmu (menghukummu)."
"Wahai Amirul Mukminin, bagaimana mungkin engkau akan menghukumku?Aku hanya melakukan satu kesalahan, sedangkan engkau sendiri melakukan tiga kesalahan sekaligus?"
Pemilik rumah itu lalu menunjukkan tiga kesalahan Umar.
"Wahai Umar, Allah SWT telah berfirman: "Janganlah kamu mencari-cari (memata-matai) kesalahan orang lain..." (QS al-Hujurat /49: 12). Engkau salah karena telah melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan) saya dengan mengendus-endus rumah saya!
"Wahai Umar, Allah berfirman: "Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ..." (QS al-Baqarah/2: 189). Engkau salah karena tidak masuk melalui pintu, tetapi melalui atap.
"Wahai Umar, Allah juga berfirman: "Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... (QS an-Nur/24: 27). Engkau salah karena masuk rumahku tanpa izin dan tanpa salam."
Karena itu, lanjut tuan rumah, “Amirul Mukminin tidak sepantasnya menghukumku karena aku melakukan satu kesalahan, sementara pada saat yang sama aku sendiri sudah bertobat kepada Allah di hadapanmu. Sedangkan engkau sendiri telah melakukan tiga kesalahan tersebut."
Umar pun dengan tulus dan terbuka mengakui kesalahannya. Kepada tuan rumah itu Umar akhirnya menyatakan: "Anda benar, apa yang Anda sampaikan kepadaku tidak salah. Karena itu, aku mohon kepadamu agar engkau juga bertobat kepada Allah SWT dan sekaligus memohonkan ampunan dari Allah untukku."
Seperti itulah antara lain profil figur pemimpin teladan yang jujur, adil, terbuka dan bijaksana. Umar tidak main hakim sendiri ketika warganya melakukan kesalahan.
Umar justeru jujur dan terbuka mengakui tiga kesalahannya di hadapan rakyatnya sendiri, dan dalam waktu yang sama mau bertobat atas tiga kesalahannya karena telah mengganggu kenyamanan warganya.
Jika para pemimpin sudah mampu bersikap jujur, terbuka, adil, dan bijaksana dalam menegakkan hukum, niscaya kewibawaan penegakan hukum di negeri ini dapat diwujudkan.
Kita merindukan pemimpin teladan yang merakyat, mau menyapa, mendengar, dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya.
Pemimpin dipilih bukan untuk menikmati kekuasaan dan aji mumpung dengan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya, melainkan untuk melayani, bukan minta dilayani, karena pemimpin itu mengemban amanah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan hukum, memberikan perlindungan dan keamanan, sekaligus menyejahterakan, mendamaikan, dan menentramkan kehidupan rakyatnya.
Rakyat tidak merasa nyaman jika pemimpinya lebih sibuk mementingkan urusan pribadi dan pencitraan dirinya daripada mengurusi dan melayani rakyat.
Pemimpin teladan rela berjuang dan berkorban demi kemaslahatan semua, bukan kepentingan politik keluarga dan partainya.
Pemimpin teladan seperti Umar itu sejatinya selalu hadir memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat, bukan mudah terprovokasi karena urusan pribadinya terusik atau khawatir terkuak keburukannya.
Pemimpin teladan tidak pernah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, karena setiap pemimpin itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab!
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar