Presiden paranoid,
itulah penilaian yang pas terhadap pribadi presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Langkah Presiden SBY menunjuk kuasa hukum pribadi dan
keluarga dinilai sebagai bentuk ketakutan menjelang lengser dari
kekuasaan. Langkahnya mensomasi sejumlah politikus justru dipersepsikan
sebagai sikap reaktif dan antikritik.
Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi, mengungkapkan bahwa perasaan paranoid
tersebut harus dilihat penyebabnya. Selanjutnya juga harus dilihat
apakah dirinya dan keluarganya serta lingkaran terdekatnya mempraktikkan
tindakan yang tidak baik, penyalahgunaan kewenangan, korupsi dan
sebagainya
Menurutnya, ketakutan
itu muncul bisa jadi karena saat memenangkan kepresidenannya melakukan
pemenangan segala cara tanpa memperhatikan esensi dari nilai demokratis.
Apabila tidak melakukan tindak atau kebijakan yang tidak benar, maka
SBY seharusnya mempunyai keyakinan bahwa dia akan menyudahi periode
kepresidenannya dengan mendarat mulus. Dalam hal ini anggapan publik
bisa jadi benar manakala SBY terlihat sangat tertekan dengan sejumlah
kritik dan serangan publik atas kebijakan politik yang dibuatnya.
Seperti diketahui,
Presiden SBY telah menunjuk Palmer Situmorang sebagai pengacara pribadi
dan keluarga. Palmer didampingi dua orang pengacara lainnya, yakni
Hafzan Taher dan Bahtiar Sitanggang. Dalam perjalanannya, Presiden SBY
melalui pengacara keluarga tersebut sudah melayangkan somasi kepada
beberapa pihak. Mereka yang disomasi antara lain aktivis ormas
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Sri Mulyono, mantan Menteri era
Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, dan politikus Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah.
Palmer Situmorang
selaku kuasa hukum keluarga SBY mengungkapkan somasi kepada Rizal Ramli
yang kedua akan diajukan jika tidak ada niat baik dari pihak yang
bersangkutan untuk menyelesaikannya. Mereka sudah melayangkan somasi
kepada Rizal Ramli yang menuding gratifikasi jabatan wapres di salah
satu stasiun televisi nasional
Menarik untuk
mencermati perilaku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui
kuasa hukumnya ini. Kita bisa menilai bahwa Presiden SBY tidak memahami
arti sebagai pejabat publik ketika memutuskan menempuh jalur hukum
kepada orang yang mengritiknya.
SBY tidak memahami
arti sebagai pejabat publik. Dalam negara demokratis, sangat wajar
apabila seorang pejabat publik dikritisi oleh publik dan media. Bahkan
menurut doktrin hukum pers, seseorang sebenarnya sudah kehilangan hak
pribadi untuk menggugat orang-orang dengan alasan pencemaran nama baik
ketika dia sudah menjadi pejabat publik atau tokoh publik. Pada titik
ini, kelihatan bahwa SBY sangat kekanak-kanakan dan tidak paham bahwa
dirinya seorang tokoh publik.
Semoga ini menjadi
peristiwa terakhir dalam sejarah kepemimpinan negara ini. Negara yang
mengaku demokratis dan dipimpin oleh presiden yang mengaku partainya
sangat demokratis juga tetapi ternyata seorang yang emosional dan anti
kritik. Kita berharap presiden yang akan datang benar-benar pribadi yang
terbuka terhadap kritik demi kepentingan rakyat. Merdeka!
Salam damai penuh cinta.
***
Solo, Selasa, 28 Januari 2014
Suko Waspodo
0 komentar:
Posting Komentar