by. Tengku Zulkarnaen
Di
tengah munculnya skeptisisme orang muda terhadap fenomena politik
kontemporer Indonesia, harapan pun mengiringi eksistensi mereka terhadap
suksesi kepemimpinan politik. Suara kelompok ini amat strategis dari
aspek kuantitas maupun kualitas vote di Pileg dan Pilpres 2014. Maka
kesadaran kritis pemilih pemula adalah vitamin yang empuk bagi
terwujudnya pencarian kualitas kepemimpinan politik. Namun, disitulah
letak soalnya. Bagaimana mendorong nalar dan sikap kritis mereka agar
turut menentukan wajah kepemimpinan politik di 2014?
Ada
banyak analisis politik yang menyatakan pemilih pemula cenderung apatis
terhadap politik. Terpaan informasi yang amat banyak dan kemuakan
mereka terhadap praktek politik yang korup, busuk dan nir-nilai membuat
apatisme ini kian menjadi pembenaran. Tapi benarkan apatisme yang patut
disandingkan? Atau jangan-jangan kesadaran nalar kritis tak pernah
diulek instutusi demokrasi yang mengemban tanggung jawab pendidikan
politik warga? Aspek inilah yang seharusnya menjadi perdebatan dan
diskursus public.
Apatis Versus Partisipasi
Tantangan
besar pengembangan pemikiran kritis terhadap pemilih pemula adalah
mengubah sikap apatis menjadi partisipasi. Perasaan enggan dalam
mengeluarkan pendapat konstruktif menjadi indikator sikap apatis. Sikap
apatis bisa diproduksi dari beberapa kenyataan. Pertama, realitas
pendidikan yang makin mahal membuat tidak banyak mereka yang dapat
mencicipi manisnya, ranumnya dan geliatnya dunia kampus. Di sisi lain,
kelompok ini juga diterpa virus hidup hedonis personal dalam rupa:
memilih fashion mahal, HP canggih, dugem, dan sebagainya. Di titik ini,
pemilih pemula diharapkan tidak melulu berkubang pada rutinitas
hedonistik. Namun, menujukan sikap partisipasi dalam masyarakat.
Partisipasi bertujuan membangun ketahanan masyarakat, sekaligus ikut
menentukan hitam-putih negeri ini
Pendidikan Kritis
Pendidikan
kritis mendorong pemuda ikut terlibat aktif dalam pilihan-pilhan yang
terjadi di masyarakat. Keaktifan itu ditunjukkan dalam berbagai
sumbangsih pemikiran dan tindakan. Keaktifan pemilih pemula harus
dilengkapi dengan kemapuan menganalisis fenomena sosial. Analisa kasus
melibatkan pemahaman yang menyeluruh. Analisa semacam ini disebut dengan
analisisi sosial. Analisis sosial merupakan usaha untuk memperoleh
gambaran utuh mengenai sebuah situasi sosial. Pengenalan itu dilengkapi
dengan menggali lebih dalam hubungan-hubungan historis dan
strukturalnya.
Dalam
konteks menghadapi pemilu legislative dan pilpres 2014, maka analisis
sosial dapat dikemas dengan mengajukan pertanyaan kritis yaitu (1)
Seperti apa kualitas Caleg dan Capres yang layak dipilih? (2) Mengapa
kita patut terlibat dalam pemilu 2014? (3) Bagaimana cara Caleg dan
Capres merumuskan Indonesia yg lebih adil dan sejahtera? (4) Bagaimana
Caleg dan Capres merangkai masa depan Indonesia? (5) Apa yang pernah
Caleg dan Capres perbuat bagi publik? (6) Sejauh mana posisi mereka
terhadap pluralism dan kesadaran planeter?
Pendek
kata, analisis ini bisa mengajak pemilih pemula masuk ke realitas
secara kritis. Harapannya, Mereka dapat mengajak masyarakat mengalami
pencerahan berpikir dan keterlibatan praksis. Paradigma kritis menjadi
poin penting dalam kemasan pendidikan politik. Paradigma kritis dapat
melatih pemilih pemula untuk mampu mengidentifikasi politisi busuk dan
korup, sembari memilih pemimpin yang baik dan amanah.
Pendidikan
kritis itu akan melahirkan komunitas pemilih kritis. Jika di setiap
desa, kampung, kecamatan dan kabupaten terbentuk komunitas-komunitas
pemilih pemula yang kritis maka akan timbul rasa kesatuan untuk
membangun Indonesia baru yang beradab dan berkeadilan. Semangat inilah
yang perlu digarap oleh institusi-institusi demokrasi: Pers, LSM,
Perguran Tinggi, Lembaga Keagamaan/adat, dan Parpol. Jika asa ini
menyertai, maka harapan kita menjadikan pemilih pemula sebagai actor,
motor, dan stimulator bagi terpilihnya pemimpin amanah bukanlah sebuah
utopiah.(kompasiana.com)
0 komentar:
Posting Komentar