Oleh
Ina Salma Febriany
PKSBengkulu-Suatu hari, Muadz bin Jabal diboncengi keledai yang dikendarai Rasulullah SAW. Di atas keledai, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Muadz, tahukah engkau hal apa yang patut engkau penuhi terhadap Allah dan satu hal lain yang pasti akan Allah penuhi terhadapmu?”
Muadz terdiam lalu menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Ya Rasul.”
Kemudian Rasulullah menjawab, “Bahwasannya satu hal yang patut engkau penuhi terhadap Allah ialah bahwa engkau berjanji sepenuh hati bahwa engkau tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (syirik). Dan satu hal yang pasti Allah tunaikan hak-Nya untukmu ialah bahwa Dia takkan pernah menyiksa para hamba-Nya yang tidak pernah melakukan syirik.”
Muadz tercengang. Dengan penuh semangat ia menjawab, “Ya Rasul, dapatkah saya sampaikan ini kepada orang-orang?”
Rasulullah SAW pun menjawab, “Tahanlah. Aku khawatir orang-orang akan lengah sehingga mereka terlalu berharap keluasan rahmat Allah, kemudian malas beribadah.” (HR Bukhari)
Sabda Nabi SAW mengingatkan kita kembali perihal hak dan kewajiban yang semestinya kita penuhi baik sebagai makhluk sekaligus hamba Allah SWT. Karena status kita sebagai hamba, maka sedari proses penciptaannya pun Allah telah berikrar, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku.“ (QS adz-Dzariyat: 56)
Begitu tinggi esensi peribadatan kepada Allah selaku Khalik dan kita yang hanya sebagai makhluk. Tentiu saja beribadah kepada-Nya harus dilandasi dengan ilmu dan tauhid (pengesaan Allah).
Dalam surah lain, menjadi jelas bahwa Allah juga ‘menegur’ kita untuk tidak masuk ke dalam jurang syirik. “Dan janganlah kamu menjadikan sesembahan (tuhan) yang lain selain Allah maka kamu akan dicela dan terhina.” (QS al-Isra: 22)
Pesan ini bergandengan dengan perintah untuk taat pada orangtua, anjuran bersedekah, tidak mubazir, tidak terlalu pelit dan berlebihan, larangan membunuh anak karena takut miskin, larangan zina, larangan membunuh sesama, larangan memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, memenuhi takaran (timbangan) dengan adil, dan ditutup dengan larangan untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui (taklid buta).
Syirik dan taklid buta menjadi sejajar manakala syirik dilakukan karena manusia mengikuti tanpa ilmu dan tanpa dalil terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain.
Sabda Rasulullah SAW di atas ditutup dengan anjuran kepada Muadz untuk tidak langsung menyampaikan sabda itu kepada khalayak karena khawatir orang-orang terlalu bergantung pada keluasan rahmat Allah.
Sehingga mereka malas berusaha karena tahu bahwa Allah akan mengganjar mereka dengan ‘bebas siksa’ ketika mereka cukup dengan ‘tidak syirik’. Ini akan membuka peluang kemalasan dalam meningkatkan kualitas ibadah.
Oleh karenanya, Muadz baru menyampaikan sabda berharga ini di detik-detik kewafatannya. Sehingga orang-orang sezamannya tidak ada yang tahu. Sebuah pesan rahasia, penyelamat dari segala siksa untuk semua manusia. Wallahu a’lam. (republika.co.id)
Ina Salma Febriany
PKSBengkulu-Suatu hari, Muadz bin Jabal diboncengi keledai yang dikendarai Rasulullah SAW. Di atas keledai, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Muadz, tahukah engkau hal apa yang patut engkau penuhi terhadap Allah dan satu hal lain yang pasti akan Allah penuhi terhadapmu?”
Muadz terdiam lalu menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Ya Rasul.”
Kemudian Rasulullah menjawab, “Bahwasannya satu hal yang patut engkau penuhi terhadap Allah ialah bahwa engkau berjanji sepenuh hati bahwa engkau tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (syirik). Dan satu hal yang pasti Allah tunaikan hak-Nya untukmu ialah bahwa Dia takkan pernah menyiksa para hamba-Nya yang tidak pernah melakukan syirik.”
Muadz tercengang. Dengan penuh semangat ia menjawab, “Ya Rasul, dapatkah saya sampaikan ini kepada orang-orang?”
Rasulullah SAW pun menjawab, “Tahanlah. Aku khawatir orang-orang akan lengah sehingga mereka terlalu berharap keluasan rahmat Allah, kemudian malas beribadah.” (HR Bukhari)
Sabda Nabi SAW mengingatkan kita kembali perihal hak dan kewajiban yang semestinya kita penuhi baik sebagai makhluk sekaligus hamba Allah SWT. Karena status kita sebagai hamba, maka sedari proses penciptaannya pun Allah telah berikrar, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku.“ (QS adz-Dzariyat: 56)
Begitu tinggi esensi peribadatan kepada Allah selaku Khalik dan kita yang hanya sebagai makhluk. Tentiu saja beribadah kepada-Nya harus dilandasi dengan ilmu dan tauhid (pengesaan Allah).
Dalam surah lain, menjadi jelas bahwa Allah juga ‘menegur’ kita untuk tidak masuk ke dalam jurang syirik. “Dan janganlah kamu menjadikan sesembahan (tuhan) yang lain selain Allah maka kamu akan dicela dan terhina.” (QS al-Isra: 22)
Pesan ini bergandengan dengan perintah untuk taat pada orangtua, anjuran bersedekah, tidak mubazir, tidak terlalu pelit dan berlebihan, larangan membunuh anak karena takut miskin, larangan zina, larangan membunuh sesama, larangan memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, memenuhi takaran (timbangan) dengan adil, dan ditutup dengan larangan untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui (taklid buta).
Syirik dan taklid buta menjadi sejajar manakala syirik dilakukan karena manusia mengikuti tanpa ilmu dan tanpa dalil terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain.
Sabda Rasulullah SAW di atas ditutup dengan anjuran kepada Muadz untuk tidak langsung menyampaikan sabda itu kepada khalayak karena khawatir orang-orang terlalu bergantung pada keluasan rahmat Allah.
Sehingga mereka malas berusaha karena tahu bahwa Allah akan mengganjar mereka dengan ‘bebas siksa’ ketika mereka cukup dengan ‘tidak syirik’. Ini akan membuka peluang kemalasan dalam meningkatkan kualitas ibadah.
Oleh karenanya, Muadz baru menyampaikan sabda berharga ini di detik-detik kewafatannya. Sehingga orang-orang sezamannya tidak ada yang tahu. Sebuah pesan rahasia, penyelamat dari segala siksa untuk semua manusia. Wallahu a’lam. (republika.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar