-

  • Latest News

    Jumat, 09 Mei 2014

    Mencipta Sekolah Kehidupan

    oleh
    Kholid DS *


    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.”
    (QS Al ‘Alaq: 1-3).

    Pendaftaran masuk sekolah sudah dimulai. Jika Anda termasuk orang tua yang sempat harap-harap cemas dengan sekolah baru anak Anda, buku Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi rasanya penting dibaca. Saya sendiri merasa perlu menghadiahkan buku tersebut kepada sahabat saya yang menjadi guru.

    SD Tomoe, sekolah yang dikisahkan dalam buku tersebut, bangunannya tak meyakinkan. Seluruh gedung kelas terbuat dari bangkai gerbong kereta api. Tak ada muridnya yang menjadi juara lomba antarsekolah. Tak ada medali emas karena juara olimpiade sains. Usia sekolah inipun tak lama—bangunannya musnah saat jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki (1945). Namun, situasi belajar yang menarik dan menyenangkan di sekolah tersebut mempunyai pengaruh luar biasa bagi para alumninya. Dengan gaya kisahan yang ringan, buku tersebut mampu menggambarkan filosofi seperti apa sesungguhnya “sekolah bermutu.” Walhasil, buku yang laris (best seller) di Jepang ini bisa mengubah cara pandang terhadap pendidikan buah hati kita. Tidak ada yang perlu diratapi atas kegagalan UN dan masuk sekolah (atau kelas) favorit. Bahkan, kita perlu waspada dengan sistem pendidikan saat ini yang bisa jadi malah membodohi dan mengancam masa depan buah hati kita.

    Kenyamanan
    Pada 2003, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pernah mengadakan survei internasional—dengan tes yang disebut PISA—untuk mengukur kemampuan siswa di bidang sains, membaca, dan juga matematika. Hasilnya, Finlandia ditetapkan sebagai peringkat pertama dunia dalam kualitas pendidikan.

    Bagaimana sistem pendidikan Finlandia? Finlandia tidak membebani siswanya dengan tambahan jam-jam belajar, memberi PR tambahan, menerapkan disiplin ala tentara, atau menteror siswa dengan tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia agak lambat, pada usia 7 tahun. Jam sekolah merekapun hanya sedikit, 30 jam per minggu. Siswa diajar mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka belajar bertanggung jawab. Rasa tanggung jawab itu membuat mereka lebih bebas untuk maju. Guru tinggal memotivasi, tidak harus selalu mengontrol mereka. Minimnya rasa tertekan inilah yang memungkinkan belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan dan dinamis.

    Beban kurikulum yang terlalu besar adalah perkara yang merisaukan dalam pendidikan di Indonesia. Ketetapan passing grade untuk kelulusan, membuat semua sekolah dihantui rasa takut kalau tidak dapat melampauinya. Demi target lulus, sekolah lebih mirip bimbingan belajar. Ada tambahan waktu untuk mengerjakan soal-soal. Selalu ada PR yang dibawa siswa ke rumah. Tak cukup itu, sebagian besar anak masih harus ikut les di luar sekolah. Lacur, siswa laksana mesin robot penghafal dan penghitung par excellence!

    Seto Mulyadi (Ketua Komnas Perlindungan Anak) dan Neno Warisman (da’iyah, mantan artis) adalah sebagian orang tua yang menyadari kelemahan sistem pendidikan kita. Sebagaimana Seto, Neno Warisman menarik anaknya dari sekolah formal. Menurutnya, sesuai fitrah otak mau belajar kalau ada perasaan nyaman. Bismillah, ia mengajari sendiri anaknya di rumah.

    Apa yang dilakukan oleh Neno Warisman kita kenal saat sebagai ‘sekolah rumah’ (home schooling). Sekolah alternatif—yang saat ini telah diakui legalitasnya--ini mengingatkan kita pada Ki Hajar Dewantara. Jika kita tilik sejarah Ki Hajar Dewantara, tidak ada anak-anaknya mengikuti sekolah Belanda. Mereka belajar sendiri di rumah. Ini juga dilakukan oleh Haji Agus Salim. Bimbingan tersebut mengantarkan sukses seluruh anaknya. Di luar negeri kisah serupa juga kita dapati pada Bill Gates (pemilik Microsoft) dan Thomas Alfa Edison. Mereka tidak belajar di sekolah formal. Mereka banyak sekali melakukan eksperimen di rumahnya. Sukses besar pun dapat diraih dua orang tersebut.

    Pemahaman

    Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya ialah memberikan pendidikan yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw.: ”Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadap diriku?” Rasulullah menjawab, ”Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan (pelihara) ia di tempat yang baik.”

    Pendidikan yang baik tentunya tidak bisa disederhanakan dengan nilai rangking atau kelulusan UN dari sekolah favorit. Sahabat Rasulullah sendiri, tidak ada yang mengenyam sekolah formal. Tetapi, lewat didikan akhlak Rasulullah, mereka menjadi orang-orang yang mempunyai prestasi raksasa dalam sejarah.

    Yang harus kita sadari, banyak sekali masalah kehidupan yang tidak ditemui dalam pelajaran berhitung dan hafalan di sekolah. Berhitung dan menghafal hanyalah sebagian kecil dari cara melatih berfikir sistematis. Fungsi utama sekolah semestinya adalah membentuk pola fikir dan perilaku positif anak-anak. Inilah yang kemudian akan membuat anak didik siap menjawab masalah dalam kehidupan nyata. Inilah yang dalam bahasa Al Qur’an, pendidikan itu diartikan sebagai sarana mensucikan diri. “Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(QS Al Baqarah: 151)

    Mensucikan diri sama artinya dengan tumbuhnya perilaku positif dalam belajar. Belajar bukan diniatkan untuk sekadar mendapat angka tinggi dalam rapor. Belajar adalah aktivitas mulia untuk meraih derajat tinggi di sisi Allah dan memberi manfaat kepada sesama. Pengertian inilah yang kemudian secara otomatis memotivasi anak didik untuk terus belajar. Inilah yang mengarahkan anak didik pada kepahaman.

    Islam sendiri menempatkan derajat orang yang mengerti dan memahami (“faqih”) lebih tinggi dari pada orang yang menghafal (“hafizh”). Pada kurun terbaik dalam Islam—yaitu pada tiga abad pertama Islam—kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada pada para hafizh.

    Tentu bukan berarti hafalan itu tidak perlu.. Namun, kita penting memahami bahwa hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan. Menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lain. Apalagi saat ini, gudang data itu banyak digantikan oleh kaset/ disket—atau program penyimpan data digital lain yang saat ini begitu mudah didapat dan dipakai. Menurut Yusuf Qardhawi, kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin saat ini adalah perhatian mereka kepada hafalan yang lebih tinggi daripada pemahaman. Sampai tingkat tertentu, menurut Qardhawi, ini menjadi persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan di negeri-negeri Muslim. Sistem pendidikan itu kebanyakan didasarkan pada hafalan dan ”kebisuan,” serta tidak didasarkan pada pemahaman dan pencernaan. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk kedalam otak mereka dan tidak mudah hilang dari ingatan. (Yusuf Qardhawi, Fiqh Aulawiyat).

    Jadi, tak perlu ada yang dirisaukan bila anak kita tidak berada di sekolah favorit. Yang penting dilakukan adalah mengimbangi ketimpangan dalam sistem pendidikan negeri ini dengan pendidikan sebenarnya di rumah. Rumah dan keluarga adalah sekolah informal penentu sukses sejati. Orang tualah guru besarnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi, atau majusi.” (HR. Bukhari). Dalam bahasa kita saat ini, orang tualah pemberi saham terbesar sebagai penentu sukses hidup seseorang.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Mencipta Sekolah Kehidupan Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top