-

  • Latest News

    Kamis, 30 Maret 2017

    JANGAN PISAHKAN AGAMA DENGAN POLITIK



    Wakil Ketua MPR RI

    Presiden Joko Widodo beberapa Jumat (24/3) pekan lalu meresmikan Kecamatan Barus di Sumatera Utara sebagai titik nol penyebaran Islam di Nusantara. Langkah ini patut diapresiasi karena berarti Presiden Jokowi telah mengoreksi waktu masuknya Islam ke Nusantara. Selama ini, buku-buku sejarah yang ditulis kalangan orientalis dan para pengekornya menyebut Islam masuk ke Nusantara pada abad XIII. Di Barus, Islam sudah masuk pada abad VII, dibuktikan dengan adanya prasasti pemakaman muslim di Barus.

    Peresmian Barus sebagai titik nol penyebaran Islam juga menegaskan bahwa Islam masuk ke Nusantara secara damai. Dan Islam yang menyebar di Nusantara secara damai yang dimulai pada abad VII (abad I Hijriyah), adalah Islam yang tak memisahkan antara agama dan politik, karena waktu itu memang umat Islam tak mengenal sekularisme.

    Alangkah anehnya jika pada pidato peresmian, Presiden Jokowi menyebut pentingnya pemisahan agama dan politik. Kegiatan Presiden itu adalah kunjungan politik dan saat itu justru beliau membuat keputusan politik yang terkait agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Pernyataan tersebut sejatinya tak sesuai dengan apa yang baru saja beliau lakukan.

    Tahun lalu, Presiden Jokowi juga membuat keputusan presiden yang menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Lepas dari pro-kontranya, tapi pernyataan Jokowi untuk serius memisahkan agama dari politik yang disampaikan secara terbuka dari Sumatera Utara itu, tidak sesuai juga dengan pidato politik dan rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 saat menggelar sidang BPUPKI. Dalam pidatonya, Bung Karno jelas sekali menyebutkan adanya sila "Ketuhanan”.

    Secara politik kenegarawanan, beliau menyepakati Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Juga ketika menjadi ketua PPKI, Bung Karno menyepakati Pancasila rumusan tanggal 18 Agustus 1945, yang menjadikan sila "Ketuhanan" malah menjadi sila pertama. Dengan demikian mudah disimpulkan bahwa bahkan Bung Karno sejak awal pendirian NKRI memasukkan keagamaan (berketuhanan) sebagai sila yang sangat penting dalam kehidupan berpolitik, berbangsa, dan bernegara.

    Demikian halnya jika kita membaca pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Tertulis di bawah bab agama bahwa negara Indonesia berdasarkan pada "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pasal dan ayat ini ditetapkan oleh lembaga politik tertinggi negara yaitu MPR. Bahkan saat melakukan amandemen UUD pada 1999-2002 anggota MPR menyepakati tidak ada perubahan terhadap pasal tersebut.

    Keputusan politik MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu justru menjadikan "Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap eksis dalam konstitusi Republik. “Ketuhanan Yang Maha Esa” pula yang mendasari negara—bukan malah memisahkannya dari kegiatan bernegara, termasuk dalam berpolitik.

    Menteri Agama di pada era Presiden Jokowi, Drs H. Lukman Hakim Saifuddin, juga pernah mengoreksi pernyataan terbuka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada hari terakhir masa kampanye putaran pertama pemilihan Gubernur DKI. Ahok secara terbuka menyatakan bahwa memilih gubernur berdasarkan agama itu melawan konstitusi. Atas pernyataan tersebut, Menteri Agama bahkan menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan itu sesuai dengan konstitusi dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Karenanya wajar kalau masyarakat menjadikan agama sebagai rujukan kehidupan mereka.

    Tentunya juga dalam kehidupan berpolitik, sebagaimana dilakukan oleh Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan partainya Pak Lukman Hakim Saifuddin menggunakan Kakbah sebagai simbol partai. Simbol bangunan yang menjadi arah kiblat umat Islam ini sudah digunakan sejak Orde Baru hingga era Reformasi. PPP juga menempatkan Islam sebagai asas partai. Dan itu dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku di NKRI.

    Fakta politik di lapangan juga tak sepenuhnya berpihak pada pembenaran pernyataan Presiden Jokowi. Pada tingkat Internasional, yang paling banyak menimbulkan gesekan dan konflik adalah keputusan politik terkait perang. Ada dua perang dunia yang korbannya mencapai jutaan orang. Dampak kehancurannya menjangkau hingga lintas benua.

    Yang menarik, keputusan politik yang menghadirkan Perang Dunia I dan II tak ada hubungannya dengan agama. Komunisme yang dianut oleh Lenin, Stalin, dan Mao Tse-tung juga menghadirkan korban mati dan kesengsaraan atas jutaan orang. Dan kita tahu bahwa keputusan politik petinggi-petinggi Partai Komunis yang menghadirkan gesekan luar biasa itu tak ada kaitannya sama sekali dengan Agama.

    Irak pada era Saddam Hussain juga dihancurkan oleh Amerika Serikat sejak era George Bush Jr dan sekutunya. Keputusan politik itu berbasiskan informasi salah yang disampaikan oleh CIA. Dan keputusan politik untuk menerangi Irak itu hingga kini sudah menghadirkan gesekan dahsyat: kehancuran sebuah negara dan luluh lantaknya harmoni kehidupan warga. Jumlah korban meninggal maupun terluka mencapai jutaan orang.

    Maka kita bisa menarik rangkaian sejarah, pernyataan Presiden, dan fakta yang sudah disampaikan sebelumnya ke dalam konteks pilkada di Indonesia.

    Berbagai gesekan yang terjadi, bahkan anarki, juga bukan karena masalah agama. Semua ini terjadi lantaran pembiaran kecurangan, serta ketidaknetralan aparat dan penyelenggara pilkada. Dikhawatirkan semua ini berujung pada amarah warga. Itupun hanya terjadi pada kasus yang sangat terbatas.

    Hampir tak ada gesekan di tingkat rakyat karena isu agama pada Pilkada Serentak 2015. Pada Pilkada Serentak 2017, ada laporan gesekan di Morotai dan beberapa lokasi di Papua. Tetapi itupun tak terkait dengan masalah Agama direlasikan dengan politik.

    Gesekan yang terjadi pada Pilgub Jakarta hanyalah satu dari 101 Pilkada Serentak yang digelar tahun 2017. Kalaupun itu disebut sebagai "ada gesekan", maka hal itu justru bermula dari pernyataan politik Ahok di Kepulauan Seribu, yang kemudian membuat polisi menjadikan Ahok sebagai tersangka. Pada proses selanjutnya, jaksa menjadikan Ahok sebagai terdakwa.

    Semestinya, 1 peristiwa di antara 101 peristiwa, janganlah digebyah-uyah atau digeneralisir, Karena hal itu justru memperluas keresahandan bisa memicu gesekan-gesekan yang merugikan harmoni kehidupan rakyat dan antar rakyat Indonesia.

    Kekhawatiran Presiden Jokowi akan terjadinya gesekan seperti itu, layak dipahami. Tapi tidak dengan betul-betul memisahkan agama dari politik atau memisahkan politik dari agama. Sejatinya gesekan itu hanyalah asap dan apinya bukan pada relasi agama dan politik. Api permasalahan ini adalah masifnya kecurangan, intimidasi, ketidaknetralan, dan berbagai pelanggaran hukum terhadap aturan pilkada. Tentu ini tidak bisa dibiarkan saja.

    Kalau serius ingin menghilangkan asap, matikanlah apinya. Jangan malah api itu dijaga dan malah dikipas-kipasi. Karena hal itu justru bisa jadi pemicu asap yang menjadi dampak. Alih-alih padam, ada kekhawatiran api menyebar semakin besar. Kalaupun politik bisa menghadirkan gesekan, maka agama juga ajarkan kedamaian dan kesejukan. Maka Semakin politik dijauhkan dari agama, dia semakin potensial hadirkan gesekan yang rugikan warga dan negara.

    Presiden Jokowi sebaiknya justru ajak warga untuk tak menistakan agama. Kepala negara sebaiknya mengingatkan umat beragama untuk melaksanakan ajaran agama, apapun agamanya. Karena selain pelaksanaan ajaran agama diakui dan dilindungi konstitusi, dapat diyakini bahwa pelaksanaan ajaran agama akan membawa harmoni dan solusi dalam pesta demokrasi seperti pilkada. Karena agama jugalah yang mengajarkan harmoni dan solusi itu.

    Sumber :pks.id
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: JANGAN PISAHKAN AGAMA DENGAN POLITIK Rating: 5 Reviewed By: pksbengkulu
    Scroll to Top