-

  • Latest News

    Selasa, 21 Oktober 2014

    Standar Mematuhi Pemimpin

    by
    Ihsan Tandjung


    PKSBengkulu-Salah satu perkara fundamental yang terkait dengan aqidah seorang muslim ialah ihwal kepatuhan atau ketaatan. Di dalam ucapan kalimat Tauhid Laa ilaaha ill-Allah terdapat kata ilaah yang seringkali diterjemahkan dengan tuhan. Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni: (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu’ (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti).

    Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat

    أشهد أن لآ إله إلا الله

    “Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilaah selain Allah.”

    Maka pernyataan di atas setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: ”Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi dan kutakuti selain daripada Allah subhaanahu wa ta’aala.”

    Seorang muslim dituntut untuk mem-fokus-kan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah ta’aala semata sebagai fihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan mentaati fihak selain Allah ta’aala? Tentu tidak. Ia boleh mentaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau mentaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah ta’aala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah ta’aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah ta’aala sebelum yang lainnya.
    Jangankan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan mentaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan mentaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta’aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah ta’aala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk mentaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.

    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

    Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata: ”Masuklah ke dalamnya.” Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya: ”Sesungguhnya kami lari dari api.” Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya: ”Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat.” Lalu beliau bersabda kapada yang lainnya: ”Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Bukhary 22/218)

    Itulah sebabnya hingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagaian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.

    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

    Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Mereka bertanya: ”Apakah kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” (HR Muslim 9/400)

    Maka, saudaraku, pandai-pandailah mensikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana ummat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyyah di tahun 1924/1342 H ummat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersama kita. Tidak ada khulafa ar-raasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ’anhum bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al-Qur’an dan As-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II rahimahumallah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak). Kondisi kebanyakan pemimpin dewasa ini seperti yang digambarkan dalam hadits di bawah:

    عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ وَلَمْ يَذْكُرْ خَلَفٌ عَنْ وَقْتِهَا

    Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu ’anhu: ‘bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepadaku: “Bagaimanakah kalian ketika para pemimpin menunda sholat dari waktunya atau mematikan sholat dari waktunya?” Saya bertanya: “Maka apa yang kau perintahkan aku?” Bersabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: ”Sholatlah pada waktunya. Dan bila kamu bersama mereka, maka sholatlah sebagai nafilah (tambahan) bagimu. Dan janganlah kamu menunda dari waktunya.” (HR Muslim 3/365)

    Bila kita tidak memperhatikan masalah kepada siapa kita menyerahkan kepatuhan dan ketaatan, maka kita khawatir bahwa apa yang Allah ta’aala gambarkan dalam Al-Qur’an menimpa diri kita. Wa na’udzubillaahi min dzaalika.

    يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
    وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
    رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

    Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah ta’aala dan ta`at (pula) kepada Rasul.” Dan mereka berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS Al-Ahzab ayat 66-68). (da/eramuslim)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Standar Mematuhi Pemimpin Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top