by
Anis Matta, Lc.
Sifat اشداء dengan رحماء lahir dari satu jiwa yang sama, tetapi tertuju kepada objek yang berbeda, dalam ruang dan waktu yang berbeda dan dalam konteks yang juga berbeda. Jiwa yang sama melahirkan respon yang berbeda kepada objek-objek yang berbeda.
Oleh karena itu, sifat keras tidak bisa serta merta dibilang semata-mata baik atau sebaliknya buruk, melainkan harus dilihat sesuai dengan objeknya dan konteks ruang dan waktunya.
Ada saat seseorang harus bersikap keras, dan justru malah salah jika bersikap lembut. Sebaliknya pada saat seseorang harus bersikap lembut, maka akan salah jika bersikap keras. Artinya akhlak mengacu pada fungsi sehingga seseorang tidak menjadi baik dengan sendirinya jika karakternya hanya satu, lembut sepanjang masa. Atau sebaliknya, keras terus sepanjang masa. Manusia harus mengatur bagaimana memfungsikan seluruh karakter itu.
Manusia beriman yang diinginkan sebagai produk Tarbiyah, harus mempunyai mekanisme instruksional di dalam dirinya yang akan membantu mengeluarkan sifat-sifat tersebut berdasarkan ruang dan waktunya, sehingga ketika objeknya berbeda, maka penyikapannya pun berbeda.
Didalam sejarah islam, ketika Umar RA. diangkat menjadi Khalifah, beliau segera melakukan Istisyarah dengan para Sahabat RA. dan mendapatkan masukan, khususnya Abdurrahman bin Auf RA., bahwa Umar dinilai berperangai kasar. Mendengar masukan-masukan tersebut, maka dalam teks khutbah inaugurasinya, beliau mengatakan
اللهم اني غليظ فليني
Allahumma inni ghalizhun, falayyin-ni
"Ya Allah sesungguhnya aku ini kasar, maka lembutkanlah"
Maka Umar pun kemudian dikenal sebagai Khalifah yang penuh kelembutan. Sementara sebelumnya ia adalah pengawal dan pembela Rasulullah SAW. yang sangat tegas sesuai dengan "Maqam"nya. Setiap kali ada yang menghina atau membahayakan Rasulullah SAW. ia tak ragu-ragu untuk menghunuskan pedangnya. Namun ketika menjadi Khalifah "Maqam"nya tersebut mengharuskan Umar mempunyai karakter lain, maka ia pun berdoa "Allahumma Inni Gholiizhun Falayyinni". Ada upaya Umar untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian karakter seiring perubahan "Maqam" atau posisinya.
Sebaliknya, Abu Bakar RA. yang selama ini dikenal sangat lembut, ternyata bisa menjadi tegas dalam situasi-situasi kritis.
Seperti disaat Rasulullah SAW. wafat, ketika semua Sahabat mengalami shock dan bereaksi secara berbeda, Ali tidak bisa berbicara, demikian pula Utsman, dan Umar bereaksi keras, "siapa yang mengatakan Muhammad sudah mati akan kupenggal lehernya", maka Abu Bakar yang lembut dan suka menangis mendatangi rumah Rasulullah SAW, membuka kain kafan dan menyadari kenyataan bahwa Beliau memang sudah wafat. Beliau pun mencium kening Rasulullah SAW seraya mengatakan "Thibta hayyan wa mayyitan", kemudian keluar dan membacakan kepada para Sahabat satu ayat yang sama-sama mereka hafal (Ali Imran ayat 144). Sebelum membacakan ayat tersebut, Abu Bakar berucap "Barang siapa menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barang siapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan Mati"
Jiwa yang lembut itu, tiba-tiba menjadi sangat tegar.
Demikian pula dalam perang Riddah, menghadapi para pemberontak, ketika para Sahabat tidak setuju untuk membuka dua front sekaligus, karena pasukan Usamah harus diberangkatkan, Abu Bakar memerintahkan pasukan segera dibagi dua. Hampir semua Sahabat tidak setuju, termasuk Umar bin Khattab, sehingga Umar terus menerus merayu Abu Bakar agar mengurungkan niatnya.
Bahkan Abu Bakar marah dan melompat dari kursinya seraya menarik janggut Umar dan berkata "Ya 'Umar a jabbaarun fil jahiliyyati wa jabaanun fil Islam?"
Hai Umar! Apakah kau mau jadi jagoan dimasa jahiliyyah fan kemudian jadi pengecut di masa Islam?
"Wallahi, law lam yakun minal muslimiin man yuhaaribuhum illa jundun waahidun fal yakun ana dzaalikarrajul"
Demi Allah, kalau tidak ada dari kaum muslimin satu orangpun prajurit yang memerangi mereka kecuali hanya satu, sayalah orang itu.
Pemahaman bahwa karakter merupakan fungsi adalah proses yang paling rumit dalam proses Tarbawiyah ini, karena nilai keshalihan Murtabithan bil makaani waz zaman, berhubungan dengan ruang dan waktu.
Oleh karena itu keshalihan juga mengandung unsur ketepatan, yakni penempatan sifat pada waktu yang tepat.
Ketika Abu Bakar sudah bersikap dan berkata setegas seperti itu, maka Umar pun berucap
"Wallahi, maa ra aytuhu illa wa qad fatahallahu 'alaihi"
Demi Allah, saya tidak melihat Abu Bakar melainkan Allah pasti telah mengilhaminya dengan sesuatu dalam hal ini.
Akhirnya semua Sahabat tunduk pada perintah Khalifah Abu Bakar.(da)
dalam buku SPRITUAL KADER
0 komentar:
Posting Komentar