-

  • Latest News

    Rabu, 21 Januari 2015

     Bila Waktumu Tiba

    PKSBengkulu.org - Di sebuah kampung di pinggiran kota. Seorang wanita tua duduk termenung di teras rumahnya. Matanya lurus menatap kearah jalan di depan rumahnya. Sesekali melirik keujung jalan disisi kanannya. Sesekali memejamkan mata, seolah berkonsentrasi pada pendengarannya.
    Lalu seulas senyum mulai tergambar diwajahnya.

    Diujung jalan riuh suara anak - anak bercanda. Wanita tua itu lalu berdiri, berjalan pelan kearah pagar rumahnya.
    Anak - anak berseragam sekolah menghampirinya, lalu mengucapkan salam. Satu per satu maju, mencium tangan wanita tua itu. Mereka lalu berdiri dengan sikap takzim, seolah menunggu sebuah fatwa.

    Wanita tua itu lalu berkata, “ Sayangi guru dan teman - teman kalian. Ucapkan terima kasih pada guru kalian hari ini ya, Assalamu’alaikum.”

    Anak - anak serempak menjawab salamnya, sambil tersenyum dan melambaikan tangan mereka berkata, “ Sampai besok pagi ya, Nenek Guru!”

    Wanita tua itu tersenyum sampai anak - anak menghilang dari pandangan matanya, lalu perlahan masuk kerumahnya.

    Anak – anak memanggilnya Nenek Guru. Sebuah panggilan kehormatan baginya. Dulu, ia merasa betapa sepi hidupnya kelak, saat usia merambat lanjut. Menjadi guru adalah sebuah keramaian hidup yang ia rindukan setiap hari, bahkan saat libur sekolah.

    Sekolah adalah hidupnya, saat rumah adalah tembok - tembok tanpa kata dan sapaan. Sepi adalah teman lainnya saat usianya merangkak naik dan Allah tak jua mempertemukannya dengan seseorang yang bisa berbagi hidup dengannya.

    Hidupnya pernah diujung pilihan. Merana dan meratap sendiri dalam sepi, ataukah mengembangkan senyum dan menatap hidup dengan prasangka baik pada Allah. Dan inilah yang ia pilih, menjadi “ Nenek Guru “ setiap pagi bagi anak - anak di sekitar rumahnya.

    Di ujung jalan lain. Serombongan anak - anak tiba - tiba menghentikan langkahnya, lalu salah seorang dari mereka berseru,
     “ Ssstttt, teman - teman kita sudah dekat, diam dulu !”

    Mereka berjalan dengan pelan tanpa suara. Beberapa bahkan berjingkat seolah berharap kehadiran mereka tak disadari oleh seseorang. Sesampainya didepan sebuah rumah, salah seorang dari mereka memberi isyarat tangan untuk tidak mengeluarkan suara dengan meletakkan telunjuk jarinya didepan bibirnya. Mereka berjalan dengan pelan, berharap segera menjauh dari rumah itu, lalu tiba- tiba,

    “ Hai, tunggu ! Wah payah nih, masak kalian lupa denganku. Tunggu !”

    Anak - anak itu saling memandang, wajah mereka berubah tegang dan panik, lalu seperti telah mereka duga, akhirnya terdengarlah suara itu.

    “ Dasar anak - anak pemalas ! Kalian tahu jam berapa ini ? Sudah terlambat masih saja bercanda. Jaga suara kalian di jalan ! Pergi sana ! Mengganggu saja ! Macam apa guru kalian itu, hah ?!! “

    Seorang wanita tua berdiri di depan pagar rumahnya sambil memegang sapu lidi menatap tajam kearah anak - anak itu.
    Tanpa membantah anak - anak itu berangsut menjauh sambil menunduk. Anak yang tadi berteriak memanggil berjalan cepat menyusul temannya, matanya sembab menahan tangis. Tangis untuk rasa takut dan rasa bersalah pada teman - temannya. Sesampainya diujung gerbang sekolah, mereka saling berpandangan, dan menghembuskan nafas dengan berat seperti telah menahannya sangat lama.

    Tak satupun komentar meluncur dari mulut mereka, sampai akhirnya anak yang berteriak tadi berkata, “ Maaf ya, aku lupa. “


    Seorang anak yang berbadan lebih besar maju dan berkata, “ Sudahlah, tak apa, besok lagi kita harus berhati - hati saat lewat rumah Nenek Galak itu. Ayo masuk, sudah mau bel !”

    Anak - anak memanggilnya “ Nenek Galak “, sebuah panggilan yang tidak menyenangkan. Hidup yang sepi menyeretnya pada pilihan bahwa tak seorangpun yang peduli padanya. Hatinya teriris rasa ditinggalkan. Putus asa pada prasangka baik telah menuntunnya, bahwa setiap orang yang melihatnya pasti merasa kasihan atau mencibir menyalahkan. Semua berawal saat hidupnya seperti keinginannya, menjadi wanita mandiri. Uang dan kesenangan hidup melenakannya. Sampai tibalah ia pada saat semua orang bertanya “ kapan ? “

    Sebuah pertanyaan yang lalu muncul setiap saat, seakan hidupnya tak tenang lagi. Waktu seperti mengejarnya, hingga ia lelah dan menyerah. Sudahlah, kalau Allah memberinya hidup yang sepi, maka sepi adalah pilihannya. Ia tak akan membiarkan seorangpun meramaikan hidupnya, lagi. Bahkan selirih apapun suara itu.

    Menjadi tua adalah keniscayaan. Sendiri pun adalah keniscayaan. Karena, saat hidup kita beralih ke alam penantian ( baca: barzah ) kita hanya akan sendiri. Tak ada seorangpun yang bahkan dulu selalu mengucapkan kata cinta pada kita setiap hari bersedia menemani kita saat kita adalah jenazah.

    Nenek Guru memilih untuk melukis senyum dan menyiapkan kesendiriannya dengan cara yang indah. Sedangkan Nenek Galak menjadikan sepi sebagai teman, bahkan untuk selirih suarapun ia menjauhinya.

    “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan             ( kamu ) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan ( kamu ) setelah kuat itu lemah ( kembali ) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” ( QS. Ar Rum: 54 ) 

    Pertanyaannya adalah, “ When you get old, what kind of life you choose ? “ Dan jawabannya adalah seperti apakah kita saat ini ? (*)


    *Penulis : Tya Arini
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top