-

  • Latest News

    Selasa, 06 Januari 2015

    LORONG WAKTU ITU BERNAMA PENGHUNI KAPAL SELAM

    Sore yang heboh. Setelah berjibaku dengan tugas piket di sekolah bersiap untuk perjalanan penuh kenangan. Menghubungi beberapa teman memastikan mereka jadi teman seperjalanan. Dan adzan maghrib berkumandang.

    Kami mengawali perjalanan kami dengan berkumpul di masjid PTN ternama di Solo, Nurul Huda. Saling bertegur sapa, terutama dengan Nurul yang baru sekali ini jumpa, padahal ia generasi penerusku dulu di Teater Embun, teater muslimah Fakultas Sastra di PTN ternama itu.Yang lain adalah teman sesama guru yang baru pertama kali ini menyaksikan pentas teater. Mereka berhasil kurayu agar ikut menyaksikan, kubilang ini untuk wawasan dan hiburan. Usai sholat isya kami berangkat menuju Taman Budaya Jawa Tengah. Malam itu, Jum’at 26 Desember 2014 jam 19.45 kami seperti terseret lorong waktu, yang kuciptakan. Lorong waktu yang bernana Penghuni Kapal Selam.

    Memasuki ruang ini, terkenang masa lebih dari 10 tahun yang lalu kala menyaksikan mereka, Teater Kanvas. Dulu pernah duduk dibangku yang sama, meski dulu lebih usang. Hawa dingin menyeruak, seingatku dulu tak sedingin ini, bisa jadi karena perasaanku saja. Mataku mengamati setting panggung, sederhana saja. Pikiran dan hatiku berkelana mencoba merangkai seperti apa malam ini, lalu menghubungkan dengan ingatanku, seperti apa waktu itu. Aku terseret makin jauh dalam lorong waktu. Dan lampu dipadamkan.

    Selama perjalanan, aku tertawa bersama si penjual es lugu yang sangat cinta pada emaknya. Aku menangis kala Yon menceritakan bagaimana ia ditangkap. Alur kisah yang terirama menyeretku makin jauh. Perasaan itu yang dulu juga hadir, lebih dari 10 tahun yang lalu.
    Menikmati pementasan Teater Kanvas seperti belajar tentang dedikasi.Kiprah mereka selama 27 tahun dengan misi yang tak sederhana menjadi bukti. Dan mereka dulu adalah cermin kami saat teater Embun terlahir.

    Kembali ke perjalananku. Setting panggung yang sederhana tak mengurangi isi cerita. Para pemain begitu menyatu dengan panggung, terasa berpuluh tahun mereka disana. Jalinan karakter para pemain terasa alami. Dan yang membuatku merasa salut, diusia yang tak lagi muda, fisik dan stamina mereka luar biasa. Berlari dan berguling, tak terlihat kesan lelah.

    Aku menikmati Penghuni Kapal Selam mungkin bukan tentang cerita. Tapi lebih pada kerinduan akan media seni yang lama tak kujamah, teater. Dulu ini ladang garapku. Menjadikannya sarana penyampai, bahwa kebenaran itu benar. Dan betapa butuhnya kita selalu beriringan dengan kebenaran. Sebuah tantangan karena teater bukan media popular di masyarakat umum. Dan benar, teater yang dulu kami rintis hilang , usai. Ada yang mengatakan karena namanya Embun, saat matahari muncul, lenyap dan menguap.

    Teater Kanvas mungkin hanya satu yang tersisa dari kelompok teater islam, yang tidak sekedar mengekplorasi seni, tapi ada misi, ada tema yang dipegang teguh. Dan itu tak mudah.

    Berharap banyak bahwa Teater Kanvas bisa terus menghasilkan karya, berkeliling menyampaikan kebenaran, jika tak terlalu muluk mencerahkan masyarakat, penikmat seni terutama. Semoga tak bernasib sama dengan embun.

    Lampu padam lalu menyala terang. Usai sudah lorong waktu menyeretku. Kembali kedunia nyata bersama dinginnya ac ruang teater arena. Penuh salut kuberdiri dan bertepuk tangan. Standing applause karena rindu telah tuntas.Perjalanan penuh kenangan.

    Jalanan kota Solo yang macet karena late night sale, tak mengusikku. Yakin, malam ini  tidurku nyenyak,sambil berharap akan bermimpi bersama teman – teman Teater Embun mementaskan kisah Do’a Fatia yang tak pernah jadi nyata

    Penulis : IN Tya Arini
    kala itu. (*)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top