Siang itu terasa panas dan menyesakkan bagi akhwat ini. Bukan saja karena ia hidup di kota industri yang banyak pabrik dengan asap tebal memanaskan kota. Lebih dari itu, kini ia dihadapkan pada pilihan sulit. Ada lelaki yang hendak mengkhitbahnya. Yang menjadi masalah, lelaki itu tidak sesuai kriterianya. Belum tarbiyah. Hatinya bimbang. Ada ketakutan yang menghantui jiwanya jika ia menerima, lalu menjalani rumah tangga nantinya. Adakah ia sanggup memenangkan dakwah dan membawa suaminya pada hidayah. Atau justru ia kalah. Larut dalam kehidupan ammah, lalu menjadi penambah jumlah mereka yang berguguran di jalan dakwah paska nikah.
Menolak? Ini juga pilihan sulit. Sebab ia tahu jumlah kader ikhwan tidak banyak di kota tempat ia berdomisili. Apalagi ikhwan yang siap menikah. Mungkin itu juga yang menjadi alasan beberapa akhwat yang telah lebih dahulu menikah. Bukan dengan ikhwan. Sementara ia tidak dapat berdusta bahwa usianya semakin “dewasa”. Ah… ia jadi bimbang. Galau.
Dalam kebimbangan seperti ini, ke manakah kader dakwah melangkah? Dalam persimpangan jalan yang ia sendiri tidak tahu ke mana arah yang hendak ia pilih, kepada siapakah ia mempercayakan pilihan? Di sinilah iman berperan. Di persimpangan seperti inilah materi tarbiyah bekerja. Dari pemahaman menjadi pengamalan. Ia menyerahkannya kepada Allah.
Di atas kebimbangan memilih ia memiliki keyakinan bahwa Allah akan memilihkan yang terbaik baginya. Karenanya ia berdoa. Dalam gulita malam, ia menyalakan cahaya harapan. Di atas kekhawatiran apa yang akan menimpanya ia memiliki kepercayaan. Bahwa Allah akan memberikan pertolongan-Nya, menjawab problem yang kini dihadapinya. Karenanya ia bertawakal. Seraya meningkatkan taqarrub pada-Nya. Melengkapi asbabun nashr, agar pantas kiranya Allah merengkuhnya dengan pertolongan.
Belum sepekan galau itu menghimpit hari-harinya. Cahaya terang menyinari jalan di depannya. Ia bisa melihat jalan kebaikan seperti karpet merah yang dihamparkan persis di depan kakinya. Ke sanalah kakinya harus melangkah. Allah memberikan pertolongan-Nya tepat waktu. Bahkan, bukan antara memilih ya dan tidak. Allah memberikan alternatif ketiga. Ikhwan yang telah dikenalnya sebagai salah satu kader terbaik datang kepadanya. Tidak langsung memang, baru melalui data yang diterima dari murabbiyahnya. Saat ini, keduanya telah menjadi suami istri.
Seorang ikhwan. Ia baru saja mengundurkan diri dari sebuah pekerjaan. Kini ia kebingungan. Bukan karena sudah beberapa pekan belum memperoleh pekerjaan baru. Lebih dari itu, beberapa pekan lagi ia melangsungkan pernikahan. Bagaimana ia akan menafkahi istrinya nanti jika belum juga mendapatkan penghasilan? Dan bukankah salah satu muwashafat tarbiyah adalah qadirun ‘alal kasbi? Ia tidak bisa membayangkan seandainya mertuanya yang masih ammah mempersoalkan masalah ini di hari-hari pertamanya menjadi menantu, jika ia belum juga bekerja. Lalu ia kehilangan “izzah”? waktu terus berjalan dan kekhawatiran itu kian membesar.
Untunglah ia sadar. Di atas masalah yang besar, ia memiliki Allah yang Maha Besar. Keimanan pada akhirnya menggerogoti kekhawatirannya. Ia yakinkan kembali dirinya bahwa Allah Maha Pemberi rizqi. Bahkan binatang merayap seperti cicak pun tetap mendapatkan rizqi meskipun mangsanya adalah nyamuk bersayap. Dan begitulah. Pertolongan Allah selalu tepat waktu. Dua pekan sebelum akad nikah, ia kembali bekerja. Dan dengan mantap pada hari-H ia mengikrarkan perjanjian teguh membina keluarga. Saat itu, tidak ada suara lain yang lebih mengokohkan hatinya selain ucapan saksi, keluarga dan para tamu di sekitarnya: “saahhh!”
Bukan hanya seorang akhwat. Bukan hanya seorang ikhwan. Belasan orang. Ikhwan dan akhwat. Mereka panitia daurah. Publikasi sudah disebar, cukup banyak peserta yang telah mendaftar mengikuti acara tiga hari di luar kota ini. Yang menjadi masalah, acara tinggal tiga hari dan dananya masih kurang banyak. Mengandalkan shunduquna juyubuna dari panitia jelas memberatkan. Sebab mereka semua masih mahasiswa.
Namun mereka tak menyerah. Dan bukankah daurah ini adalah untuk rekrutmen dakwah? Ini fi sabilillah. Dan Allah pasti mendatangkan pertolongan-Nya. In tanshurullaaha yanshurkum. Maka di malam hari panitia berdoa. Bermunajat memohon pertolongan-Nya. Di siang hari ikhtiar dijalankan. Menelepon satu per satu perusahaan dan lembaga yang telah diberi proposal sebelumnya. Alhamdulillah, ada hasil dalam dua hari itu. Sejumlah dana didapatkan. Namun belum cukup juga.
Hingga… tinggal satu hari. Dan itulah saat pertolongan Allah tiba. Dari sebuah perusahaan yang sebelumnya belum pernah menjadi sponsor list maupun target, panitia mendapatkan kejutan. “Iya, Mas. Kami berpartisipasi”, kata salah seorang karyawan di balik telepon, “silahkan nanti diambil dengan membawa kwitansi. Kami membantu sekian juta”. Subhaanallah, Allah memberikan pertolongan-Nya. Di hari terakhir. Di saat yang tepat. Panitia bersyukur. Bukan hanya masalah dana selesai, daurah kali ini surplus.
Nashrun minallah. Pertolongan Allah. Ia selalu tepat waktu. Kadang di waktu yang kita duga dan kita harapkan. Sering pula ia datang pada saat-saat kritis, ketika hamba sangat membutuhkan. Namun keduanya adalah waktu yang tepat. Tepat menurut Allah. Tepat bagi kita, andaikan kita tahu. Tentu masih banyak contoh selain tiga kisah nyata di atas. Setiap kita insya Allah memiliki pengalaman tersendiri. Betapa kasih sayang Allah itu amat luar biasa. Dan pertolongan-Nya selalu tepat waktu.
Segala hal yang menimpa seseorang sebagai ujian, takkan lebih besar dari kemampuan orang itu untuk menanggungnya. Sebagaimana tugas dan kewajiban yang dibebankan Allah juga tak pernah melampaui batas kemampuannya. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. “Ini merupakan pengarahan yang sangat bagus”, kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ketika sampai di surat Al-Baqarah ayat 286 ini, “untuk membangkitkan kembali himmah ‘hasrat dan semangat’ ketika melemah karena panjangnya perjalanan. Ini juga merupakan pendidikan dan penjagaan terhadap ruh si mukmin, himmahnya, iradahnya, di samping membekali penggambarannya terhadap hakikat kehendak Allah dalam setiap hal yang ditugaskan kepadanya.”
Kaidah batas kemampuan ini juga memastikan bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya memasuki ujian yang di luar batas kemampuannya, kecuali Ia berikan pertolongan sebelumnya: terkadang jauh sebelum batas maksimal, kadang ketika tinggal selangkah lagi batas itu tercapai. Tapi itu selalu bermuara pada satu kesimpulan: pertolongan Allah selalu tepat waktu.
Jika kita merasa saat ini tengah menghadapi problematika yang sulit dan rumit, dan Allah belum jua menurunkan pertolongan-Nya, yakinlah bahwa kita masih kuat menanggungnya. Dan sejalan dengan kesabaran, Allah mengampuni dosa dan meninggikan derajat kita. Pada titik seperti ini boleh jadi kita merasa doa-doa kita tidak dikabulkan. Di sinilah ujiannya. Jika kita putus asa lalu tidak berdoa lagi, doa kita benar-benar tidak akan dikabulkan. Lalu kita semakin jauh dari-Nya. Padahal itu belum waktu yang tepat bagi Allah untuk menolong kita.
“Bukankah Rasulullah SAW telah diberi kemenangan di Perang Badar, namun telah diperlakukan sebagai orang yang dikalahkan di Perang Uhud?” kata Ibnu Al Jauzi dalam Shaid Al Khatir, “Bukankah beliau telah dihalangi untuk menunaikan ibadah di Baitullah, tetapi kemudian diberi kesempatan untuk menguasainya? Baik dan buruk mesti ada. Sesuatu yang baik menuntut lahirnya syukur, sedang sesuatu yang buruk menuntut munculnya permintaan dan doa. Tapi jika doa yang telah dipanjatkan tak jua dikabulkan, kita mesti tahu bahwa Allah Azza Wa Jalla hendak memberikan ujian dan ingin melihat kepasrahan kepada ketetapan-Nya.”
Ketika ujian dilalui dengan kesabaran,ikhtiar, doa, dan tawakkal… ketika itulah pertolongan-Nya datang. Kalau tidak, pastilah di saat terakhir, ketika satu langkah lagi seorang mukmin tak kuasa menahan beratnya beban ujian itu, tak mampu menanggung rumitnya problematika yang dihadapi, di saat itulah Allah menganugerahkan pertolongan. Sebab, pertolongan-Nya selalu tepat waktu. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
Sumber : www.bersamadakwah.com
Menolak? Ini juga pilihan sulit. Sebab ia tahu jumlah kader ikhwan tidak banyak di kota tempat ia berdomisili. Apalagi ikhwan yang siap menikah. Mungkin itu juga yang menjadi alasan beberapa akhwat yang telah lebih dahulu menikah. Bukan dengan ikhwan. Sementara ia tidak dapat berdusta bahwa usianya semakin “dewasa”. Ah… ia jadi bimbang. Galau.
Dalam kebimbangan seperti ini, ke manakah kader dakwah melangkah? Dalam persimpangan jalan yang ia sendiri tidak tahu ke mana arah yang hendak ia pilih, kepada siapakah ia mempercayakan pilihan? Di sinilah iman berperan. Di persimpangan seperti inilah materi tarbiyah bekerja. Dari pemahaman menjadi pengamalan. Ia menyerahkannya kepada Allah.
Di atas kebimbangan memilih ia memiliki keyakinan bahwa Allah akan memilihkan yang terbaik baginya. Karenanya ia berdoa. Dalam gulita malam, ia menyalakan cahaya harapan. Di atas kekhawatiran apa yang akan menimpanya ia memiliki kepercayaan. Bahwa Allah akan memberikan pertolongan-Nya, menjawab problem yang kini dihadapinya. Karenanya ia bertawakal. Seraya meningkatkan taqarrub pada-Nya. Melengkapi asbabun nashr, agar pantas kiranya Allah merengkuhnya dengan pertolongan.
Belum sepekan galau itu menghimpit hari-harinya. Cahaya terang menyinari jalan di depannya. Ia bisa melihat jalan kebaikan seperti karpet merah yang dihamparkan persis di depan kakinya. Ke sanalah kakinya harus melangkah. Allah memberikan pertolongan-Nya tepat waktu. Bahkan, bukan antara memilih ya dan tidak. Allah memberikan alternatif ketiga. Ikhwan yang telah dikenalnya sebagai salah satu kader terbaik datang kepadanya. Tidak langsung memang, baru melalui data yang diterima dari murabbiyahnya. Saat ini, keduanya telah menjadi suami istri.
Seorang ikhwan. Ia baru saja mengundurkan diri dari sebuah pekerjaan. Kini ia kebingungan. Bukan karena sudah beberapa pekan belum memperoleh pekerjaan baru. Lebih dari itu, beberapa pekan lagi ia melangsungkan pernikahan. Bagaimana ia akan menafkahi istrinya nanti jika belum juga mendapatkan penghasilan? Dan bukankah salah satu muwashafat tarbiyah adalah qadirun ‘alal kasbi? Ia tidak bisa membayangkan seandainya mertuanya yang masih ammah mempersoalkan masalah ini di hari-hari pertamanya menjadi menantu, jika ia belum juga bekerja. Lalu ia kehilangan “izzah”? waktu terus berjalan dan kekhawatiran itu kian membesar.
Untunglah ia sadar. Di atas masalah yang besar, ia memiliki Allah yang Maha Besar. Keimanan pada akhirnya menggerogoti kekhawatirannya. Ia yakinkan kembali dirinya bahwa Allah Maha Pemberi rizqi. Bahkan binatang merayap seperti cicak pun tetap mendapatkan rizqi meskipun mangsanya adalah nyamuk bersayap. Dan begitulah. Pertolongan Allah selalu tepat waktu. Dua pekan sebelum akad nikah, ia kembali bekerja. Dan dengan mantap pada hari-H ia mengikrarkan perjanjian teguh membina keluarga. Saat itu, tidak ada suara lain yang lebih mengokohkan hatinya selain ucapan saksi, keluarga dan para tamu di sekitarnya: “saahhh!”
Bukan hanya seorang akhwat. Bukan hanya seorang ikhwan. Belasan orang. Ikhwan dan akhwat. Mereka panitia daurah. Publikasi sudah disebar, cukup banyak peserta yang telah mendaftar mengikuti acara tiga hari di luar kota ini. Yang menjadi masalah, acara tinggal tiga hari dan dananya masih kurang banyak. Mengandalkan shunduquna juyubuna dari panitia jelas memberatkan. Sebab mereka semua masih mahasiswa.
Namun mereka tak menyerah. Dan bukankah daurah ini adalah untuk rekrutmen dakwah? Ini fi sabilillah. Dan Allah pasti mendatangkan pertolongan-Nya. In tanshurullaaha yanshurkum. Maka di malam hari panitia berdoa. Bermunajat memohon pertolongan-Nya. Di siang hari ikhtiar dijalankan. Menelepon satu per satu perusahaan dan lembaga yang telah diberi proposal sebelumnya. Alhamdulillah, ada hasil dalam dua hari itu. Sejumlah dana didapatkan. Namun belum cukup juga.
Hingga… tinggal satu hari. Dan itulah saat pertolongan Allah tiba. Dari sebuah perusahaan yang sebelumnya belum pernah menjadi sponsor list maupun target, panitia mendapatkan kejutan. “Iya, Mas. Kami berpartisipasi”, kata salah seorang karyawan di balik telepon, “silahkan nanti diambil dengan membawa kwitansi. Kami membantu sekian juta”. Subhaanallah, Allah memberikan pertolongan-Nya. Di hari terakhir. Di saat yang tepat. Panitia bersyukur. Bukan hanya masalah dana selesai, daurah kali ini surplus.
Nashrun minallah. Pertolongan Allah. Ia selalu tepat waktu. Kadang di waktu yang kita duga dan kita harapkan. Sering pula ia datang pada saat-saat kritis, ketika hamba sangat membutuhkan. Namun keduanya adalah waktu yang tepat. Tepat menurut Allah. Tepat bagi kita, andaikan kita tahu. Tentu masih banyak contoh selain tiga kisah nyata di atas. Setiap kita insya Allah memiliki pengalaman tersendiri. Betapa kasih sayang Allah itu amat luar biasa. Dan pertolongan-Nya selalu tepat waktu.
Segala hal yang menimpa seseorang sebagai ujian, takkan lebih besar dari kemampuan orang itu untuk menanggungnya. Sebagaimana tugas dan kewajiban yang dibebankan Allah juga tak pernah melampaui batas kemampuannya. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. “Ini merupakan pengarahan yang sangat bagus”, kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ketika sampai di surat Al-Baqarah ayat 286 ini, “untuk membangkitkan kembali himmah ‘hasrat dan semangat’ ketika melemah karena panjangnya perjalanan. Ini juga merupakan pendidikan dan penjagaan terhadap ruh si mukmin, himmahnya, iradahnya, di samping membekali penggambarannya terhadap hakikat kehendak Allah dalam setiap hal yang ditugaskan kepadanya.”
Kaidah batas kemampuan ini juga memastikan bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya memasuki ujian yang di luar batas kemampuannya, kecuali Ia berikan pertolongan sebelumnya: terkadang jauh sebelum batas maksimal, kadang ketika tinggal selangkah lagi batas itu tercapai. Tapi itu selalu bermuara pada satu kesimpulan: pertolongan Allah selalu tepat waktu.
Jika kita merasa saat ini tengah menghadapi problematika yang sulit dan rumit, dan Allah belum jua menurunkan pertolongan-Nya, yakinlah bahwa kita masih kuat menanggungnya. Dan sejalan dengan kesabaran, Allah mengampuni dosa dan meninggikan derajat kita. Pada titik seperti ini boleh jadi kita merasa doa-doa kita tidak dikabulkan. Di sinilah ujiannya. Jika kita putus asa lalu tidak berdoa lagi, doa kita benar-benar tidak akan dikabulkan. Lalu kita semakin jauh dari-Nya. Padahal itu belum waktu yang tepat bagi Allah untuk menolong kita.
“Bukankah Rasulullah SAW telah diberi kemenangan di Perang Badar, namun telah diperlakukan sebagai orang yang dikalahkan di Perang Uhud?” kata Ibnu Al Jauzi dalam Shaid Al Khatir, “Bukankah beliau telah dihalangi untuk menunaikan ibadah di Baitullah, tetapi kemudian diberi kesempatan untuk menguasainya? Baik dan buruk mesti ada. Sesuatu yang baik menuntut lahirnya syukur, sedang sesuatu yang buruk menuntut munculnya permintaan dan doa. Tapi jika doa yang telah dipanjatkan tak jua dikabulkan, kita mesti tahu bahwa Allah Azza Wa Jalla hendak memberikan ujian dan ingin melihat kepasrahan kepada ketetapan-Nya.”
Ketika ujian dilalui dengan kesabaran,ikhtiar, doa, dan tawakkal… ketika itulah pertolongan-Nya datang. Kalau tidak, pastilah di saat terakhir, ketika satu langkah lagi seorang mukmin tak kuasa menahan beratnya beban ujian itu, tak mampu menanggung rumitnya problematika yang dihadapi, di saat itulah Allah menganugerahkan pertolongan. Sebab, pertolongan-Nya selalu tepat waktu. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
Sumber : www.bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar