Oleh Asma Nadia
Sebagai seorang ibu, saya sering panik menyadari betapa rentannya usia sementara masih begitu banyak hal yang perlu saya wariskan kepada anak-anak. Keinginan yang bukan sekadar wacana akan menjadi apa mereka kelak, tetapi membangun semangat agar apa pun profesi anak-anak nantinya atau persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan tak menjauhkannya dari surga.Kaderisasi diperlukan agar ananda meneruskan semangat dan kebaikan yang dilakukan orang tua hingga amal-amal baik terus berumur panjang meski orang tua berpulang, juga bagi banyak kebaikan yang diperintahkan-Nya. Secara umum, kekhawatiran akan lemahnya kaderisasi dalam kehidupan berbangsa sering terdengar.
Sayang jika banyak ide brilian atau kegiatan positif terhenti ketika pelopor atau penggeraknya pergi. Tetapi, pada kenyataannya, ada satu bidang di mana proses kaderisasi, disengaja atau tidak, berjalan dengan amat sangat baik. Ketika generasi awal menua dan banyak yang meninggal, generasi muda dengan cepat muncul menggantikan. Bidangnya pun semakin meluas. Benarkah ini kabar baik?
Media saat ini marak memberitakan gugatan kejaksaan agung terhadap mantan staf Ditjen Pajak berinisal DW yang memiliki simpanan sekitar Rp 90 miliar, yang secara akal sehat berbanding “terbalik“ dengan penghasilannya sebagai PNS golongan III. Sebelumnya, kasus lain juga melibatkan GT, 32 tahun, mantan PNS di Ditjen Pajak.
Namanya meroket saat asetnya yang berkisar hingga Rp 100 miliar dicurigai sebagai harta ilegal. Saya mencermati usia keduanya. GT lahir tahun 1979, artinya ketika reformasi yang mengusung anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bergulir pada 1998, usianya masih 19 tahun, mungkin baru masuk kuliah. Sementara, DW yang berusia 37, ketika reformasi juga masih usia mahasiswa.
Jelas keduanya bukan termasuk mereka yang dituduh koruptor pada masa itu. Berbagai kasus korupsi kini juga melibatkan politikus, aparat, dan kalangan muda lain yang sebagian dari mereka saat reformasi terjadi belum menjabat apa-apa, belum menjadi pegawai negeri atau politikus. Dengan kata lain, mereka adalah generasi baru koruptor Indonesia, hasil kaderisasi.
Mau tidak mau, imajinasi dan angan saya langsung berlesatan. Jika hal ini saya angkat dalam cerpen atau novel, bagaimana saya bisa menjelaskan proses kaderisasi pembentukan generasi rakus ini? Mungkin semua berawal dari tahap pembiasaan, pikir saya lagi. Terbiasa melihat berita korupsi, terbiasa membaca bagaimana koruptor bebas dan mendapat keistimewaan meski di balik jeruji.
Setelah pembiasaan, mungkin masuk ke tahap pembolehan. Mulai permisif terhadap aksi korupsi yang dilakukan teman sejawat. Tidak menegur demi “kode etik“ atau budaya “tidak enak“ yang salah kaprah, sikap yang bahkan lebih rendah dari apa yang Rasul golongkan sebagai “selemah lemahnya iman“. Sebab, seharusnya kita berusaha mengubah keburukan dengan tangan, perkataan, dan terakhir baru menolak dengan hati.
Level berikut mungkin ikut menikmati adanya amplop tambahan di luar gaji. “Sekadar bagibagi rezeki,“ kata senior mereka. Sementara, Rasulullah menyebut penghasilan di luar gaji dikarenakan kedudukan/profesi yang kita miliki adalah korupsi. Tahap berikutnya adalah terlibat secara sadar. Sang pemula mulai tahu berapa bagiannya, berapa yang harus disetor, kepada siapa saja, bagaimana bermain aman, siapa jaringannya, dan lain-lain.
Terakhir, mungkin menjadi master. Sudah bisa membangun jaringan sendiri, selain mempunyai jaringan di pihak lain. Mulai mempunyai kekuatan untuk menekan pihak tertentu dan terus menjadi yang terbesar.
Benar tidaknya lanturan angan-angan saya, mungkin hanya koruptor sendiri yang tahu.
Tetapi, semoga saja ada di antara mereka yang mau menuliskannya sehingga bangsa ini bisa belajar bagaimana kaderisasi korupsi berjalan. Bagaimana jaringannya bisa mengakar agar kita mampu memberantasnya. Mudah-mudahan malah bisa menemukan rumusan tepat untuk mencegah pertumbuhannya. Bagi setiap orang tua, kaderisasi korupsi yang sangat sistemik ini menjadi kabar buruk dan pekerjaan rumah tambahan. Sebab, pada akhirnya kita tak hanya memikirkan cara agar setiap kebaikan bisa diteruskan, tetapi juga memastikan agar satu lagi jejak nyata keburukan di sekitar kita terputuskan dari ananda, yang kita impikan menjadi generasi surga.[]
*REPUBLIKA (3/3/12)
0 komentar:
Posting Komentar