by
Hepi Andi Bastoni
PKSBengkulu-Sepuluh hari berlalu dari Ramadhan 8 H. Sepuluh ribu pasukan kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Langkah mereka pasti, menuju Makkah. Di Marru Zhahran, Rasulullah saw dan pasukannya berhenti untuk melaksanakan shalat Isya. Rasulullah saw memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyalakan obor. Dalam sekejap lembah itu terang benderang.
Ini salah satu taktik Rasulullah saw untuk menggetarkan hati musuh. Ketika Abu Sufyan bin Harb dan beberapa tokoh Quraisy sedang berkeliling di sekitar Makkah mencari berita, langsung terkejut melihat banyaknya nyala obor. Dalam keterkejutan itu, mereka tidak bisa memperkirakan berapa jumlah kaum Muslimin. Yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: kekuatan musuh sangat besar!
Ketika mereka sedang diselimuti ketakutan, Abbas bin Abdul Muthalib datang memergoki. Setelah terjadi perbincangan, akhirnya Abu Sufyan bertanya dengan suara bergetar. “Sebaiknya apa yang saya lakukan?”
“Naiklah ke punggung hewan tungganganku ini. Aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah saw dan meminta jaminan untukmu,” jawab Abbas.
Abu Sufyan segera menuruti perintah Abbas. Abbas tidak sulit membawa Abu Sufyan ke hadapan Rasulullah saw. Sebab, setiap kali melewati pasukan kaum Muslimin, mereka dibiarkan berlalu. Pasukan itu mengenal siapa Abbas. Apalagi ia mengendarai hewan tunggangan Rasulullah saw.
Hanya saja ketika melewati Umar bin Khathab, Abbas dan Abu Sufyan sempat berhenti. Begitu melihat Abu Sufyan, Umar buru-buru mendatang Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, ini adalah Abu Sufyan. Biarkan saya memenggal kepalanya,” ujar Umar.
“Saya telah memberikan perlindungan atasnya, wahai Rasulullah,” ujar Abbas buru-buru sambil menggandeng Abu Sufyan.
Sempat terjadi perdebatan kecil antara Umar dan Abbas. Rasulullah saw segera melerai dan memerintahkan Abbas untuk membawa Abu Sufyan pergi. Beliau meminta untuk membawanya menghadap kembali besok pagi.
Keesokan harinya, Abu Sufyan dihadapkan lagi kepada Rasulullah saw. “Wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk menyatakan tiada Tuhan selain Allah?” tanya Rasulullah saw.
“Engkau begitu santun dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Kalau memang ada Tuhan selain Allah, tentu aku akan dibelanya,” jawab Abu Sufyan.
“Bukankah tiba saatnya engkau mengakui, aku adalah Rasulullah?” tanya Nabi lagi.
“Sungguh engkau begitu santun dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Namun, masih ada yang mengganjal di hatiku,” jawab Abu Sufyan.
Melihat Abu Sufyan belum juga menyatakan keislamannya, Abbas membentak, “Celakalah engkau! Bersaksilah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya sebelum kepalamu dipenggal!”
Abu Sufyan pun mengucapkan syahadat. Abbas segera mendekati Rasulullah saw seraya berkata, “ Ya Rasulullah, Abu Sufyan menyukai kebanggaan. Berilah sesuatu kebanggaan baginya.”
“Ya, siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke Masjidil Haram, ia selamat,” ujar Rasulullah saw.
Selanjutnya, Rasulullah saw menyuruh pasukannya untuk bergerak menuju Makkah. Abu Sufyan diperintahkan berangkat lebih dulu untuk menemui keluarga dan orang-orang kafir Quraisy. Tanpa perlawan berarti, Makkah berhasil dikuasai.
Sosok seperti Abu Sufyan dalam kisah di atas tak sedikit jumlahnya. Merekalah para tokoh yang sebenarnya mengetahui kebenaran Islam, tapi tak mau mengakuinya. Bisa jadi karena gengsi, tak mau dirinya dipimpin orang lain atau menjaga wibawanya. Sosok seperti ini sangat sulit ditaklukkan dengan metode “dakwah biasa”. Ia hanya bisa ditundukkan dengan kekuasaan, dengan kekuatan. Di sinilah peranan jabatan dan kekuasaan sangat menentukan.
Kekuasaan itu penting. Sama pentingnya dengan kepemimpinan. Bahkan, kekuasaan adalah nama lain dari kepemimpinan. Dengan kekuasaan orang memimpin. Dan kepemimpinan, tak bisa berjalan maksimal tanpa wewenang berkuasa. Jadi, kekuasaan dan kepemimpin adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan.
Seorang pemimpin memegang peran penting dalam menentukan kebijakan. Karenanya, di antara strategi penting yang dijalankan Rasulullah saw dalam berdakwah adalah mengirimkan surat kepada para raja agar mereka masuk Islam. Rasulullah saw juga sering memfokuskan dakwahnya kepada para pimpinan kabilah. Sebut saja sahabat beliau Thufail bin Amr. Ia adalah pemimpin suku Daus. Di tangannyalah hampir seluruh penduduk Daus masuk Islam.
Pemimpin memegang peranan penting. Di tangannya beragam ketentuan ditelurkan. Karena begitu besar peranan pemimpin, al-Qur’an merasa harus “turut campur” memberikan arah kepada kaum Muslimin untuk menentukan pemimpin.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu,” (QS an-Nisa’: 59).
Dalam ayat tersebut kata ulil amri digandeng dengan kata minkum (di antara kamu). Ini mengisyarakatkan bahwa pemimpin umat Islam harus dari kalangan mereka sendiri. Lebih tegas lagi Allah SWT nyatakan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin…”(QS an-Nisa’: 144).
Ketentuan memilih pemimpin ini bersifat umum. Bukan hanya dalam memimpin negara, tapi juga provinsi, kabupaten bahkan lingkup yang sangat kecil bernama keluarga. Yang menjadi pemimpin harus umat Islam dan mengerti syariat Islam serta mau mengamalkannya.
Pemimpin umat Islam memang harus Muslim. Tapi, Muslim yang bagaimana? Melalui beberapa haditsnya Rasulullah saw memberikan gambaran tentang hal ini. Para sahabat beliau pun memberikan isyarat bagaimana memilih pemimpin di antara kaum Muslimin sendiri. Di antara syarat—selain Muslim—yang harus dipilih menjadi pemimpin adalah:
Pertama, didukung mayoritas orang-orang baik. Orang baik akan memilih pemimpin yang terbaik di antara mereka. Sebaliknya, orang jahat akan memilih orang yang jahat di antara mereka. Orang-orang shalih akan memilih yang tershalih di antara mereka. Orang-orang preman akan memilih preman di antara mereka. Jarang ditemui orang-orang jahat yang mau memilih orang baik.
Sistem demokrasi yang sekarang masih dianut di negeri ini, memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Tugas kita adalah memilih di antara yang dicalonkan, mana di antara mereka yang didukung oleh mayoritas orang baik-baik. Itu yang kita pilih. Bukan didukung oleh mayoritas orang-orang jahat. Rasulullah saw bersabda, “Para pemimpin terbaik ialah yang kamu senangi dan menyenangi kamu,” (HR Muslim).
Kedua, tidak berambisi terhadap jabatan. Orang yang terlalu berambisi terhadap jabatan cenderung melakukan segala cara agar cita-citanya terwujud. Ia tak peduli caranya itu melanggar syariat, menzalimi orang atau melakukan tindak kejahatan lainya. Orang yang berambisi terhadap jabatan biasa melakukan money politic, suap, intimidasi, dan rekayasa jahat lainnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan uang sebanyak mungkin. Yang ada di kepalanya, bagaimana agar jabatan bisa ia dapatkan. Ia beranggapan, kalau dirinya terpilih, ia akan mudah mendapatkan uang.
Kalau ada di antara calon pemimpin yang biasa membagi-bagikan uang, justru harus diwaspadai. Ia tidak sedang memberi cuma-cuma, tapi memberi pinjaman yang akan ditagih selama ia memimpin. Dengan demikian, target utamanya kalau terpilih adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk mengganti uangnya yang ia keluarkan.
Rasulullah saw pernah menasihati Abdurahman bin Samurah, “Kamu jangan meminta-minta jabatan di pemerintahan. Jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, pasti kamu akan dibantu dalam melaksanakan tugas. Jika kamu mendaparkan jabatan dengan ambisi, maka tugas itu akan membebani kamu,” (HR Bukhari Muslim).
Ketiga, tidak berbuat zalim. Jika pemimpin adalah orang yang biasa melakukan kezaliman, maka kita tidak akan bisa berharap banyak untuk mendapatkan kebaikan. Yang ada dalam benak orang yang biasa berbuat zalim adalah berbuat semena-mena untuk kepentingan diri dan kekuasaannya. Hukum tak mungkin bisa ditegakkan di bawah pemerintahan yang zalim. Kesejahteraan masyarakat, tak mungkin terwujud di tengah kezaliman. Sebab kezaliman adalah musuh keadilan.
Begitu pentingnya keadilan seorang pemimpin sehingga Rasulullah saw memasukkan pemimpin adil ke dalam kelompok tujuh orang yang mendapatkan naungan di hari kiamat nanti. (HR Bukhari I/234).
Selain ketiga syarat tersebut, seorang pemimpin harus mempunyai track record baik, berakhlak mulia dan mampu mengangkat orang-orang profesional untuk membantunya mengurus pemerintahan. Jadi, kalau di depan mata kita sekarang terpampang beberapa pilihan, kita harus memilih yang terbaik, didukung orang baik-baik, adil, dan tidak berambisi terhadap jabatan. Merekalah yang kita pilih.
sumber : telaahislam.blogspot.com
Hepi Andi Bastoni
PKSBengkulu-Sepuluh hari berlalu dari Ramadhan 8 H. Sepuluh ribu pasukan kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Langkah mereka pasti, menuju Makkah. Di Marru Zhahran, Rasulullah saw dan pasukannya berhenti untuk melaksanakan shalat Isya. Rasulullah saw memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyalakan obor. Dalam sekejap lembah itu terang benderang.
Ini salah satu taktik Rasulullah saw untuk menggetarkan hati musuh. Ketika Abu Sufyan bin Harb dan beberapa tokoh Quraisy sedang berkeliling di sekitar Makkah mencari berita, langsung terkejut melihat banyaknya nyala obor. Dalam keterkejutan itu, mereka tidak bisa memperkirakan berapa jumlah kaum Muslimin. Yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: kekuatan musuh sangat besar!
Ketika mereka sedang diselimuti ketakutan, Abbas bin Abdul Muthalib datang memergoki. Setelah terjadi perbincangan, akhirnya Abu Sufyan bertanya dengan suara bergetar. “Sebaiknya apa yang saya lakukan?”
“Naiklah ke punggung hewan tungganganku ini. Aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah saw dan meminta jaminan untukmu,” jawab Abbas.
Abu Sufyan segera menuruti perintah Abbas. Abbas tidak sulit membawa Abu Sufyan ke hadapan Rasulullah saw. Sebab, setiap kali melewati pasukan kaum Muslimin, mereka dibiarkan berlalu. Pasukan itu mengenal siapa Abbas. Apalagi ia mengendarai hewan tunggangan Rasulullah saw.
Hanya saja ketika melewati Umar bin Khathab, Abbas dan Abu Sufyan sempat berhenti. Begitu melihat Abu Sufyan, Umar buru-buru mendatang Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, ini adalah Abu Sufyan. Biarkan saya memenggal kepalanya,” ujar Umar.
“Saya telah memberikan perlindungan atasnya, wahai Rasulullah,” ujar Abbas buru-buru sambil menggandeng Abu Sufyan.
Sempat terjadi perdebatan kecil antara Umar dan Abbas. Rasulullah saw segera melerai dan memerintahkan Abbas untuk membawa Abu Sufyan pergi. Beliau meminta untuk membawanya menghadap kembali besok pagi.
Keesokan harinya, Abu Sufyan dihadapkan lagi kepada Rasulullah saw. “Wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk menyatakan tiada Tuhan selain Allah?” tanya Rasulullah saw.
“Engkau begitu santun dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Kalau memang ada Tuhan selain Allah, tentu aku akan dibelanya,” jawab Abu Sufyan.
“Bukankah tiba saatnya engkau mengakui, aku adalah Rasulullah?” tanya Nabi lagi.
“Sungguh engkau begitu santun dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Namun, masih ada yang mengganjal di hatiku,” jawab Abu Sufyan.
Melihat Abu Sufyan belum juga menyatakan keislamannya, Abbas membentak, “Celakalah engkau! Bersaksilah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya sebelum kepalamu dipenggal!”
Abu Sufyan pun mengucapkan syahadat. Abbas segera mendekati Rasulullah saw seraya berkata, “ Ya Rasulullah, Abu Sufyan menyukai kebanggaan. Berilah sesuatu kebanggaan baginya.”
“Ya, siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke Masjidil Haram, ia selamat,” ujar Rasulullah saw.
Selanjutnya, Rasulullah saw menyuruh pasukannya untuk bergerak menuju Makkah. Abu Sufyan diperintahkan berangkat lebih dulu untuk menemui keluarga dan orang-orang kafir Quraisy. Tanpa perlawan berarti, Makkah berhasil dikuasai.
Sosok seperti Abu Sufyan dalam kisah di atas tak sedikit jumlahnya. Merekalah para tokoh yang sebenarnya mengetahui kebenaran Islam, tapi tak mau mengakuinya. Bisa jadi karena gengsi, tak mau dirinya dipimpin orang lain atau menjaga wibawanya. Sosok seperti ini sangat sulit ditaklukkan dengan metode “dakwah biasa”. Ia hanya bisa ditundukkan dengan kekuasaan, dengan kekuatan. Di sinilah peranan jabatan dan kekuasaan sangat menentukan.
Kekuasaan itu penting. Sama pentingnya dengan kepemimpinan. Bahkan, kekuasaan adalah nama lain dari kepemimpinan. Dengan kekuasaan orang memimpin. Dan kepemimpinan, tak bisa berjalan maksimal tanpa wewenang berkuasa. Jadi, kekuasaan dan kepemimpin adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan.
Seorang pemimpin memegang peran penting dalam menentukan kebijakan. Karenanya, di antara strategi penting yang dijalankan Rasulullah saw dalam berdakwah adalah mengirimkan surat kepada para raja agar mereka masuk Islam. Rasulullah saw juga sering memfokuskan dakwahnya kepada para pimpinan kabilah. Sebut saja sahabat beliau Thufail bin Amr. Ia adalah pemimpin suku Daus. Di tangannyalah hampir seluruh penduduk Daus masuk Islam.
Pemimpin memegang peranan penting. Di tangannya beragam ketentuan ditelurkan. Karena begitu besar peranan pemimpin, al-Qur’an merasa harus “turut campur” memberikan arah kepada kaum Muslimin untuk menentukan pemimpin.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu,” (QS an-Nisa’: 59).
Dalam ayat tersebut kata ulil amri digandeng dengan kata minkum (di antara kamu). Ini mengisyarakatkan bahwa pemimpin umat Islam harus dari kalangan mereka sendiri. Lebih tegas lagi Allah SWT nyatakan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin…”(QS an-Nisa’: 144).
Ketentuan memilih pemimpin ini bersifat umum. Bukan hanya dalam memimpin negara, tapi juga provinsi, kabupaten bahkan lingkup yang sangat kecil bernama keluarga. Yang menjadi pemimpin harus umat Islam dan mengerti syariat Islam serta mau mengamalkannya.
Pemimpin umat Islam memang harus Muslim. Tapi, Muslim yang bagaimana? Melalui beberapa haditsnya Rasulullah saw memberikan gambaran tentang hal ini. Para sahabat beliau pun memberikan isyarat bagaimana memilih pemimpin di antara kaum Muslimin sendiri. Di antara syarat—selain Muslim—yang harus dipilih menjadi pemimpin adalah:
Pertama, didukung mayoritas orang-orang baik. Orang baik akan memilih pemimpin yang terbaik di antara mereka. Sebaliknya, orang jahat akan memilih orang yang jahat di antara mereka. Orang-orang shalih akan memilih yang tershalih di antara mereka. Orang-orang preman akan memilih preman di antara mereka. Jarang ditemui orang-orang jahat yang mau memilih orang baik.
Sistem demokrasi yang sekarang masih dianut di negeri ini, memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Tugas kita adalah memilih di antara yang dicalonkan, mana di antara mereka yang didukung oleh mayoritas orang baik-baik. Itu yang kita pilih. Bukan didukung oleh mayoritas orang-orang jahat. Rasulullah saw bersabda, “Para pemimpin terbaik ialah yang kamu senangi dan menyenangi kamu,” (HR Muslim).
Kedua, tidak berambisi terhadap jabatan. Orang yang terlalu berambisi terhadap jabatan cenderung melakukan segala cara agar cita-citanya terwujud. Ia tak peduli caranya itu melanggar syariat, menzalimi orang atau melakukan tindak kejahatan lainya. Orang yang berambisi terhadap jabatan biasa melakukan money politic, suap, intimidasi, dan rekayasa jahat lainnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan uang sebanyak mungkin. Yang ada di kepalanya, bagaimana agar jabatan bisa ia dapatkan. Ia beranggapan, kalau dirinya terpilih, ia akan mudah mendapatkan uang.
Kalau ada di antara calon pemimpin yang biasa membagi-bagikan uang, justru harus diwaspadai. Ia tidak sedang memberi cuma-cuma, tapi memberi pinjaman yang akan ditagih selama ia memimpin. Dengan demikian, target utamanya kalau terpilih adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk mengganti uangnya yang ia keluarkan.
Rasulullah saw pernah menasihati Abdurahman bin Samurah, “Kamu jangan meminta-minta jabatan di pemerintahan. Jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, pasti kamu akan dibantu dalam melaksanakan tugas. Jika kamu mendaparkan jabatan dengan ambisi, maka tugas itu akan membebani kamu,” (HR Bukhari Muslim).
Ketiga, tidak berbuat zalim. Jika pemimpin adalah orang yang biasa melakukan kezaliman, maka kita tidak akan bisa berharap banyak untuk mendapatkan kebaikan. Yang ada dalam benak orang yang biasa berbuat zalim adalah berbuat semena-mena untuk kepentingan diri dan kekuasaannya. Hukum tak mungkin bisa ditegakkan di bawah pemerintahan yang zalim. Kesejahteraan masyarakat, tak mungkin terwujud di tengah kezaliman. Sebab kezaliman adalah musuh keadilan.
Begitu pentingnya keadilan seorang pemimpin sehingga Rasulullah saw memasukkan pemimpin adil ke dalam kelompok tujuh orang yang mendapatkan naungan di hari kiamat nanti. (HR Bukhari I/234).
Selain ketiga syarat tersebut, seorang pemimpin harus mempunyai track record baik, berakhlak mulia dan mampu mengangkat orang-orang profesional untuk membantunya mengurus pemerintahan. Jadi, kalau di depan mata kita sekarang terpampang beberapa pilihan, kita harus memilih yang terbaik, didukung orang baik-baik, adil, dan tidak berambisi terhadap jabatan. Merekalah yang kita pilih.
sumber : telaahislam.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar